Wanaloka.com – Salah satu penggugat iklim terhadap Holcim dari Pulau Pari, Asmania menyerukan perusahaan multinasional sekaligus carbon major (penghasil karbon dioksida terbesar di dunia) untuk menurunkan produksi emisi mereka signifikan. Ibu tiga orang anak ini mendesak Holcim, sebagai perusahaan semen terbesar di dunia untuk menurunkan emisinya.
“Kami menyerukan kepada Holcim untuk menurunkan emisinya 69 persen sampai tahun 2024,” tegas Asmania dalam konferensi internasional yang di kota Bonn, Jerman yang dihadiri secara daring dari Jakarta pada 12 Juni 2024.
Konferensi ini diselenggarakan atas kerja sama Friend of the Earth International, European Center for Constitutional and Human Rights (ECCHR), HEKS, Walhi, Forum Peduli Pulau Pari, dan Perempuan Pulau Pari.
Baca Juga: Masyarakat Adat Sihaporas Diculik Usai Menuntut Perampasan Tanah Adat
Ia menjelaskan tuntutan itu adalah satu dari tiga tuntutan lainnya, yaitu Holcim diminta membayar dana adaptasi dan dana loss and damage. Semua merupakan upaya empat penggugat, yakni Asmania, Arif Pujiyanto, Mustaghfirin dan Edi Mulyono untuk mendapatkan keadilan iklim.
Lebih jauh, Asmania menjelaskan bahwa krisis iklim yang diakibatkan oleh emisi carbon major telah menyebabkan dirinya dan masyarakat lainnya di Pulau Pari mengalami kehilangan dan kerugian ekonomi. Krisis iklim telah membuatnya kehilangan pendapatan ekonomi dari budidaya ikan kerapu dan budidaya rumput laut yang selama ini dikelola bersama suaminya.
“Dalam satu kali musim panen, saya biasanya mendapatkan hasil 30 sampai dengan 50 juta rupiah. Saat ini, kami mengalami kehilangan sangat besar karena air laut semakin hangat yang menyebabkan ikan-ikan budidaya kami mati. Begitu pun dengan budidaya rumput laut. Saat ini kami sudah berhenti berbudidaya rumput laut karena air laut terus menghangat,” papar dia.
Baca Juga: Alasan KKP Manfaatkan Penukaran Utang untuk Konservasi Terumbu Karang
Di sisi lain, ia yang mengandalkan income ekonomi dari pengelolaan pariwisata berupa homestay, kapal snorkling, dan lain sebagainya, juga mengalami kerugian besar. Ketika cuaca esktrem terjadi, lalu disusul banjir rob yang menghantam Pulau Pari, banyak wisatawan yang membatalkan pemesanan homestay.
Semua catatan kerugian yang ia alami akibat krisis iklim telah tercatat dengan sangat baik. Saat ini tengah dibaca serta dipelajari oleh Majelis Hakim di Pengadilan Zug, Swiss.
“Kami telah menyampaikan bukti-bukti baru ke pihak pengadilan Zug,” ungkap dia.
Baca Juga: Peran OMC Kini, Basahi Lahan Gambut Sebelum Karhutla Terjadi
Ia juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung gugatan iklim Pulau Pari sampai Majelis Hakim di Zug mengabulkan dua hal. Pertama, memutuskan bahwa gugatan yang dibawa masyarakat dari negara Selatan, khususnya Indonesia, diterima dan diproses menggunakan hukum Swiss. Kedua, memutuskan untuk menolak permintaan Holcim yang harus membayar biaya dalam jumlah sangat besar. Sekaligus meminta Pemerintah Swiss untuk mengcover biaya pengadilan bagi keempat penggugat.
“Alhamdulillah, kami tidak harus membayar uang dalam jumlah yang sangat besar. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terus mendukung kami,” imbuh dia.
Contoh Penting Gerakan Keadilan Iklim
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional, Parid Ridwanuddin menjelaskan bahwa Pulau Pari merupakan salah satu contoh pulau kecil di Indonesia yang terdampak krisis iklim sejak lama. Bahkan, sebelumnya ada enam pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Seribu telah hilang akibat krisis iklim.
Baca Juga: Peringkat Kedua Indeks Risiko Bencana, Indonesia Jadi Laboratorium Kebencanaan
Discussion about this post