Wanaloka.com – Masih ingat bencana akibat siklon Seroja pada April 2021? Siklon tersebut mulai terbentuk di Indonesia pada 3 April 2021. mekanisme terbentuknya cikal bakal bibit Siklon Seroja yang tumbuh dari badai vorteks telah berlangung intensif selama 10 hari di perairan Banda dan berlanjut terus menjadi siklon Seroja. Akibat siklon tropis tersebut, 181 jiwa meninggal dunia di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Berdasarkan hasil studi tim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mekanisme terbentuknya siklon Seroja memiliki frekuensi selama dua tahun sekali. Kajian tersebut dinyatakan diterima pada 1 April 2023 dalam jurnal international Natural Hazards berjudul: Evolution of Double Vortices Induced Seroja Tropical Cyclogenesis over Flores, Indonesia.
“Ini cukup mengejutkan, karena studi sebelumnya mengonfirmasi peluang siklon terbentuk di dekat ekuator hanya 100 dalam 400 tahun sekali,” kata Peneliti Ahli Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Erma Yulihastin pada seminar nasional bertajuk Memperkuat Pentahelix Penanggulangan Bencana dalam Membangun Resiliensi Masyarakat yang diselenggarakan Uhamka pada 1 April 2023.
Baca Juga: Banjir Kabupaten Kapuas Meluas, Warga Penyintas Mulai Terserang Penyakit
Setiap wilayah merespon perubahan iklim secara berbeda. Parameter apa yang paling sensitif berubah dan daerah mana yang paling sensitif adalah yang harus dipetakan. Yang pertama ingin dilihat Erma dalah indikasi adanya perubahan iklim. Artinya, ada perubahan pola musim dan pola cuaca yang ingin dideteksi dan dikaji.
Selain perubahan musim yang telah terjadi di Indonesia selama dua dekade terakhir, indikasi perubahan iklim juga dapat ditunjukkan dengan pola cuaca yang mengalami perubahan karena tak lagi sesuai dengan tipe-tipe cuaca berdasarkan musim.
Akibatnya, pola cuaca ekstrem pun berubah. Cuaca ekstrem ditunjukkan melalui frekuensi hujan ekstrem yang kerap terjadi di wilayah Indonesia, khususnya untuk wilayah Sumsel, Lampung, Jawa bagian barat dan tengah. Sementara untuk wilayah Jawa bagian timur, Lombok, Bali, NTB, NTT, hujan ekstrem meningkat selama musim kemarau.
Baca Juga: Banjir di Kabupaten Kapuas Belum Surut, Kalteng Waspada Dampak Hujan
Selain itu, cuaca ekstrem mengalami eskalasi skala spasial yang semakin luas dan skala temporal yang lebih panjang. Akibatnya, membangkitkan kejadian ekstrem (extreme event) di atmosfer sehingga skala dampak yang ditimbulkan pun menjadi masif dan luas.
Ada perbedaan antara cuaca ekstrem dan kejadian ekstrem. Cuaca ekstrem biasanya terjadi untuk skala yang lokal di suatu wilayah tertentu dan memiliki durasi kejadian yang singkat. Yakni kurang dari satu jam atau maksimal sekitar 2-3 jam.
Discussion about this post