Rabu, 3 Desember 2025
wanaloka.com
  • Home
  • Indepth
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
  • Home
  • Indepth
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video
No Result
View All Result
wanaloka.com
No Result
View All Result
  • Home
  • Indepth
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

Hatma Suryatmojo, Banjir Bandang Sumatra Akibat Akumulasi Dosa Ekologis di Hulu DAS

Jika manusia merusak lingkungan melebihi ambang batas, maka alam akan ‘membalas’ dengan bencana yang dahsyat.

Selasa, 2 Desember 2025
A A
Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM, Hatma Suryatmojo. Foto Dok. UGM.

Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM, Hatma Suryatmojo. Foto Dok. UGM.

Share on FacebookShare on Twitter

Sementara Sumatra Barat memiliki proporsi hutan sekitar 54 persen dari luas wilayah (sekitar 2,3 juta ha) pada tahun 2020. Secara persentase masih lebih baik daripada Sumatra Utara, namun laju deforestasi Sumbar termasuk yang tertinggi. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatra Barat mencatat dalam periode 2001–2024, provinsi ini kehilangan sekitar 320 ribu ha hutan primer dan total 740 ribu ha tutupan pohon (hutan primer ditambah sekunder).

Bahkan, deforestasi di Sumatra Barat tahun 2024 mencapai 32 ribu ha. Sisa hutan Sumatra Barat pun banyak berada di lereng curam Bukit Barisan sehingga ketika berkurang, risiko tanah longsor dan banjir bandang meningkat.

Baca juga: Alasan Status Bencana Nasional, Pengerahan Sumber Daya Negara Percepat Pemulihan

“Tragedi banjir bandang yang melanda Sumatra pada November 2025 sejatinya merupakan akumulasi dosa ekologis di hulu DAS. Cuaca ekstrem saat itu hanya pemicu, daya rusak yang terjadi tak lepas dari parahnya kerusakan lingkungan di wilayah hulu hingga hilir DAS,” ucap dia lagi kembali menegaskan.

Penataan dan pengendalian kawasan yang lemah, menurut Hatma, turut berpengaruh mengakibatkan maraknya perambahan hutan dan alih fungsi lahan hutan menjadi kebun sawit, serta illegal logging di kawasan hulu sehingga menjadi penyebab berbagai bencana hidrometeorologi kerap muncul di wilayah tersebut.

Hutan-hutan lindung di ekosistem Batang Toru yang semestinya menjadi area tangkapan air banyak dikonversi menjadi perkebunan atau dibabat para pembalak liar mengakibatkan saat hujan lebat, air yang melimpah tak bisa lagi tertahan secara alami di hulu dan langsung menghantam permukiman di hilir.

Banjir bandang di November 2025 di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat mungkin tercatat menjadi salah satu yang terbesar dalam sejarah beberapa dekade terakhir. Kejadian ini menunjukkan tren bencana hidrometeorologi cenderung makin parah seiring akumulasi deforestasi dan perubahan iklim.

Baca juga: Bencana Hidrometeorologi di Pulau Sumatra Menewaskan 174 Warga

Manusia merusak, alam akan membalas

Secara geografis, Pulau Sumatra beriklim tropis basah, sehingga selalu rentan terhadap hujan lebat. Sementara kerusakan lingkungan, seperti pembukaan hutan di pegunungan dan penyempitan sungai menjadikan wilayah ini ibarat menyimpan bom waktu bencana. Tanpa pembenahan serius, menurut Hatma, setiap puncak musim hujan bisa mendatangkan petaka serupa masa mendatang.

Alam memiliki kapasitas daya dukung dan daya tampung yang terbatas untuk menahan gempuran cuaca ekstrem, dan kapasitas itu sangat bergantung pada kelestarian lingkungannya. Jika manusia merusak lingkungan melebihi ambang batas, maka alam akan ‘membalas’ dengan bencana yang dahsyat. Upaya mitigasi dan pengurangan risiko bencana ke depan harus menyeimbangkan antara pendekatan struktural (infrastruktur teknis) dan pendekatan ekologis.

Langkah structural, seperti pembangunan tanggul, pemulihan sempadan sungai, dan normalisasi sungai meski penting, namun tidak akan cukup tanpa dibarengi pelestarian lingkungan di hulu. Perlindungan hutan dan konservasi DAS harus menjadi prioritas utama. Pemerintah perlu menegakkan aturan tata ruang berbasis mitigasi bencana dan menghentikan laju deforestasi di kawasan rawan banjir secara tegas.

Baca juga: Walhi Desak Penghentian Kriminalisasi Adetya Pramandira dan Fathul Munif

Sisa hutan di hulu-hulu kritis, misalnya ekosistem Leuser di Aceh dan ekosistem Batang Toru di Sumatra Utara harus dipertahankan menjadi “harga mati”. Sebab fungsi ekosistem hutam itu tak tergantikan dalam mencegah banjir bandang.

Rehabilitasi lahan kritis dan reforestasi di area tangkapan air strategis juga mendesak dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan sebagai pengendali daur air. Juga meningkatkan edukasi dan partisipasi masyarakat lokal dalam menjaga hutan akan memperkuat upaya perlindungan lingkungan jangka panjang.

Menghadapi potensi cuaca ekstrem yang semakin sering akibat perubahan iklim, membuat sistem peringatan dini dan kesiapsiagaan harus terus diperkuat. BMKG telah mengupayakan peringatan dini cuaca ekstrem dan potensi banjir bandang setiap memasuki puncak musim hujan. Informasi-informasi ini harus ditindaklanjuti pemerintah daerah dengan langkah-langkah, seperti simulasi evakuasi, penataan ulang permukiman rawan, dan memastikan kapasitas tanggap darurat memadai.

Pemakaian teknologi modifikasi cuaca (TMC) dapat dipertimbangkan menjadi upaya mengurangi curah hujan di lokasi tertentu ketika potensi banjir bandang sangat tinggi. Hanya saja, solusi teknologis tetap dilihat sebagai pelengkap, bukan pengganti. Sedangkan langkah utama yang harus dilakukan adalah perbaikan tata lingkungan.

Baca juga: Mimpi Kawasan Konservasi Jadi Rumah Aman Bagi Gajah Sumatra 

Akhirnya, kunci ketangguhan menghadapi bencana lebih pada keseimbangan hubungan manusia dan alam. Banjir bandang yang berulang inipun menjadi pengingat bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh mengabaikan daya dukung lingkungan.

Kolaborasi semua pihak pemerintah, swasta, komunitas, dan pegiat lingkungan sangat diperlukan untuk melakukan pembenahan menyeluruh di hulu hingga hilir. Dengan melindungi hutan, menata ruang berbasis mitigasi, dan meningkatkan kesadaran ekologis, masyarakat di Sumatra dan Indonesia secara umum dapat menjadikan Indonesia lebih tangguh menghadapi ancaman banjir bandang dan longsor yang mungkin meningkat seiring perubahan iklim.

“Tragedi akhir November 2025 ini, hendaknya menjadi titik balik untuk bergerak menuju keseimbangan baru. Bahwa keselamatan masyarakat terlindungi dengan tetap menjaga kelestarian alam,” kata Hatma. [WLC02]

Sumber: UGM

Terkait

Page 2 of 2
Prev12
Tags: Banjir Bandang SumatraBencana SumatraDASFakultas Kehutanan UGMHatma Suryatmojo

Editor

Discussion about this post

TERKINI

  • Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM, Hatma Suryatmojo. Foto Dok. UGM.Hatma Suryatmojo, Banjir Bandang Sumatra Akibat Akumulasi Dosa Ekologis di Hulu DAS
    In Sosok
    Selasa, 2 Desember 2025
  • Tangkapan video pendek tentang banjir bandang di Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. Foto @masinton/instagram.Kerugian Bencana Ekologis Sumatra Rp68,67 Triliun, Tak Sebanding Sumbangan dari Tambang dan Sawit
    In Lingkungan
    Selasa, 2 Desember 2025
  • Bantuan logistik untuk wilayah terdampak bencana Sumatra, Provinsi Aceh, Provinsi Sumatra Utara, dan Provinsi Sumatra Barat. Foto BNPB.Update Bencana Sumatra, Korban Tewas 442 Orang Terbanyak di Sumut
    In Bencana
    Senin, 1 Desember 2025
  • Kondisi Agam, Sumatra Barat usai banjir bandang, Sabtu, 29 November 2025. Foto Dok. BNPB.Tiga Provinsi Sumatra Kewalahan, Akademisi dan Masyarakat Sipil Desak Status Bencana Nasional
    In News
    Minggu, 30 November 2025
  • Peta tambang di Pulau Sumatra. Foto Jatam.Jatam Tegaskan Longsor dan Banjir Bandang di Sumatra Akibat Ledakan Izin Ekstraktif
    In Lingkungan
    Sabtu, 29 November 2025
wanaloka.com

©2025 Wanaloka Media

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

No Result
View All Result
  • Home
  • Indepth
  • Lingkungan
  • Sosok
  • News
  • Foto
  • Bencana
  • Traveling
  • IPTEK
  • Rehat
  • Video

©2025 Wanaloka Media