Wanaloka.com – Sejak 21-24 Juli 2024, sejumlah desa di wilayah Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara ditenggelamkan banjir setinggi 1-3 meter. Sekitar 1.670 warga terpaksa mengungsi. Desa Lelilef Woebulan, Lukulamo, serta Transmigran Kobe yang mencakup Woekob, Woejerana, dan Kulo Jaya di Kecamatan Weda Tengah pun lumpuh. Banjir terus meluas ke Sagea hingga Transmigran Waleh di Kecamatan Weda Utara. Banjir juga telah mengisolir Desa Woekob, Woejerana, Lukulamo, dan Kulo Jaya akibat jalan penghubung antar desa putus.
Kondisi di wilayah Kabupaten Halmahera Timur pun setali tiga uang. Banjir juga merendam 12 desa. Selain banjir, longsor terjadi di beberapa ruas jalan lintas Buli-Subaim, Buli-Maba Tengah, dan di sepanjang Jalan Uni-Uni, Halmahera Timur. Longsor di Halmahera Tengah juga memutus akses jalan Trans Pulau Halmahera yang menghubungkan Payahe-Oba di Kota Tidore Kepulauan dengan Weda, Halmahera Tengah.
Deforestasi Sumber Bencana
Tak ada asap kalau tak ada api. Laporan terbaru Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), berbagai potensi bencana di Halmahera, Maluku Utara tersebut dipicu aktivitas tambang, terutama tambang nikel.
Baca Juga: Sri Endah, RUU Masyarakat Adat Terlantar karena Pemerintah Tak Paham Konsep
“Pengerukan nikel telah menggusur hutan dan ruang hidup warga Halmahera,” ungkap Pengkampanye Jatam, Alfarhat Kasman dalam siaran tertulis tertanggal 26 Juli 2024.
Wilayah Halmahera Tengah dengan luas 227.683 hektare (Ha) telah dikepung 23 izin nikel, 4 izin di antaranya melintasi batas administratif Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Adapun total luas izin yang dikuasai perusahaan nikel mencapai 95.736,56 Ha atau sekitar 42 persen dari luas Halmahera Tengah. Luas bukaan lahan untuk tambang mencapai 21.098,24 Ha, yang sebagian besar berada di wilayah hutan dan merupakan hulu sungai besar di Halmahera.
Global Forest Watch mencatat, sejak 2021 hingga 2023, Halmahera Tengah kehilangan 27,9 kilo hectare (kha) tutupan pohon. Jumlah tersebut setara dengan penurunan 13 persen tutupan pohon sejak tahun 2000 dan melepaskan emisi gas rumah kaca sebesar 22.4 Mt CO₂e. Kehilangan tutupan pohon dominan terjadi di kawasan konsesi penambangan nikel ini menyebabkan berbagai degradasi sumber daya air tawar dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi.
Baca Juga: Tiga Kali Gempa Kuningan adalah Satu Rangkaian Sesar Ciremai
Kehilangan hutan tersebut, sebagian besar berada di area-area krusial yang menjadi sangat genting terhadap hulu-hulu sungai, salah satunya Sungai Kobe. Penggusuran hutan disertai dengan pembongkaran bukit-bukit hingga mengubah bentang alam terus terjadi sebagai akibat dari aktivitas industri pemurnian nikel yang dijalankan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (PT IWIP) dan tambang-tambang nikel milik perusahaan pemasok bahan baku untuk IWIP.
Perluasan IWIP
Berdasarkan citra satelit yang diolah dengan data InaRisk dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tampak sepanjang bantaran Sungai Kobe termasuk wilayah yang sangat berisiko banjir. Sungai Kobe melintasi beberapa desa, yaitu Desa Lelilef Waibulan, Kulo Jaya, Woejerana, Woekop, dan Lukulamo yang terkena dampak banjir besar sepekan terakhir.
Penghancuran bentang alam tersebut berjalan seiring perampasan lahan untuk ruang hidup dan penghidupan warga. Perusahaan seringkali melakukan pencaplokan lahan tanpa menyediakan ruang negosiasi dan tanpa pernah mengganti kerugian warga atas tanaman yang tumbuh di atas lahan tersebut.
Baca Juga: UU Masyarakat Adat adalah Janji Pilpres 2014 yang Belum Dipenuhi
Alih-alih menyediakan ruang diskusi yang setara, perusahaan justru lebih sering menggunakan tangan-tangan aparat keamanan seperti TNI dan polisi, untuk mengintimidasi warga.
“Cara itu dilakukan agar warga melepas lahan-lahannya,” kata Warga Maluku Utara, Julfikar Sangadji.
Perusahaan juga kerap memanipulasi kepemilikan tanah dengan menggunakan tangan pemerintahan desa. Jatam menemukan pejabat pemerintahan desa kerap mengeluarkan surat keterangan kepemilikan tanah untuk ‘dijual’ ke perusahaan, tanpa diketahui di pemilik lahan sesungguhnya. Keuntungan atas proses pelepasan lahan ini dinikmati segelintir pejabat pemerintahan desa dan aparat keamanan, bukan warga si pemilik lahan.
Baca Juga: Jerit Suku Anak Dalam, Hutan Adat Jantung Kehidupannya Dirampas
Di level pemerintahan daerah, Jatam menemukan, pejabat daerah atas intervensi perusahaan mengutak-atik Rencana Tata Ruang Tata Wilayah (RTRW) Halmahera Tengah demi perluasan kawasan industri. Terdapat perluasan wilayah operasi dari sebelumnya seluas 4.027.67 Ha, kini menjadi 15.517 Ha. Bahkan, pemerintah daerah bersama DPRD Halteng menyisipkan kawasan cadangan industri di Patani Barat seluas 7.000 Ha, sehingga totalnya mencapai 22.000 Ha.
Perampasan Air dan Lahan
Tak puas, IWIP juga merampas hak asasi warga atas akses air bersih. IWIP menjelma menjadi raksasa penghisap air terbesar di Halmahera Tengah. Dalam sehari, IWIP dapat mengekstraksi air baku dari sejumlah sungai, meliputi Sungai Sagea, Kobe, Sake, dan Wosia sebesar 27.000 m3/hari. Jumlah ini melampaui kebutuhan air untuk seluruh penduduk Halmahera Tengah yang berjumlah 96.977 jiwa pada 2023, yang sebesar 10.667,47 m3/hari (dengan angka konsumsi 110 L/orang/hari).
Kebutuhan air yang besar itu membuat warga yang menggantungkan sungai sebagai sumber pemenuhan air bersih harus berebut air dengan perusahaan. Sekaligus menambah beban sungai sebagai penyedia air baku.
Baca Juga: Kritik Walhi, Indonesia Tak Bisa Memimpin dengan Contoh Soal Tata Kelola Mangrove
Hasil penelusuran Jatam, perusahaan merebut akses air bersih bagi warga Desa Gemaf dan Lelilef Sawai dengan melakukan privatisasi pengelolaan air Sungai Wosia dan Ake Sake.
Perampasan hak warga atas air bersih juga dilakukan dengan mencemari sungai. Berbagai uji sampel air yang dilakukan Jatam pada 2023 dan 2024 di Sungai Woesna (Wosia), Kobe, Ake Doma, dan Sagea menunjukkan sungai-sungai tersebut telah tercemar dan tidak layak pakai menjadi sumber pemenuhan air baku untuk kebutuhan minum dan memasak.
Dalam dua periode pengujian tersebut, ditemukan cemaran nikel dalam air sungai yang berisiko menimbulkan serangkaian gangguan kesehatan bagi manusia dan biota perairan. Pada pengujian tahun 2023, ditemukan kandungan nikel total di Ake Doma dengan nilai mencapai 4,55 mg/L, Sungai Wosia 4,37 mg/L, dan Sungai Kobe 4,84 mg/L.
Cemaran serupa ditemukan pada pengujian 2024 di Sungai Sagea sebesar 0,0474 mg/L atau nyaris mendekati ambang batas maksimal yang disyaratkan regulasi untuk mewujudkan ekosistem sungai yang sehat.
Baca Juga: ESDM Uji Coba B40 untuk Kereta Api, Lalu Pertambangan dan Listrik
Ketiga nilai tersebut melampaui ambang baku maksimal bagi ekosistem sungai sehat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengatur batas maksimal cemaran nikel di air sungai adalah 0,5 mg/L.
Discussion about this post