Wanaloka.com – Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dipercaya melanjutkan keketuaan ASEAN Senior Officials on Forestry (ASOF) yang sebelumnya dipegang Kamboja. Dalam perhelatan ASOF ke-27 di Bogor pada 18-19 Juli 2024, Menteri LHK menyampaikan komitmen untuk mengawal isu mangrove selama memimpin ASOF berikut strategi pengelolaan mangrove untuk ASEAN.
Pertama, melakukan pemetaan (mapping) dan penilaian (assessment) untuk mengetahui secara pasti situasi sekaligus kualitas sebaran mangrove di pesisir Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara yang menjadi rumah bagi 34 persen mangrove dunia. KLHK mengusulkan profil mangrove ASEAN untuk memastikan baik tidaknya status ekosistem mangrove.
Kedua, meningkatkan kapasitas kesadaran (enhancing awareness capacity) untuk semua pemangku kepentingan yang relevan dengan pengelolaan mangrove.
Baca Juga: ESDM Uji Coba B40 untuk Kereta Api, Lalu Pertambangan dan Listrik
Ketiga, membangun tata kelola (governance) yang baik, mulai dari tingkat tapak sampai ke tingkat yang paling tinggi.
Keempat, intervensi teknis (technical intervension) dengan cara belajar dari pengalaman antar negara sekaligus dari para ahli dan lintas komunitas.
Kelima, dialog kebijakan (policy dialogue) antar negara ASEAN untuk saling mendukung dan memperkuat kebijakan antar negara.
Baca Juga: Gugatan Iklim Pulau Pari Jadi Contoh Gerakan Keadilan Iklim Global
Tata Kelola Mangrove Indonesia Menurun
Strategi pengelolaan mangrove Indonesia yang disampaikan KHLK kepada para delegasi negara ASEAN, menurut aktivis lingkungan Wahana Lingkungan hidup (Walhi) sepenuhnya tidak dijalankan dengan baik di Indonesia.
“Dalam pengelolaan mangrove, Indonesia tidak bisa memimpin dengan contoh (leading by example),” ungkap Manajer Kampanye Pesisir dan Laut, Eksekutif Nasional Walhi, Parid Ridwanuddin.
Ketidakmampuan Indonesia memimpin dengan contoh, menurut Parid dapat dilihat dalam sejumlah bukti.
Baca Juga: Masyarakat Adat Sihaporas Diculik Usai Menuntut Perampasan Tanah Adat
Pertama, dalam hal data mangrove di Indonesia, Pemerintah tidak konsisten.
Merujuk pada data yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS), sebagaimana tercantum dalam dokumen Statistik Sumber Daya Pesisir dan Laut tahun 2022, total luasan hutan mangrove tercatat seluas 2.320.609,89 hektare. Namun hanya 30,32 persen hutan mangrove yang berada dalam kondisi baik. Sisanya, 10,75 persen berada dalam kondisi sedang, dan 12,36 dalam kondisi rusak.
Anehnya, Pemerintah Indonesia menerbitkan Peta Mangrove Nasional (PMN) pada tahun 2021 yang mengklaim luasan mangrove lebih dari 3,364,080 hektare. Luasan itu eliputi 92.78 persen tutupannya dinilai lebat, 5,60 persen tutupan sedang, 1,62 persen tutupan jarang. Selain itu, pemerintah mengklaim ada wilayah potensi mangrove seluas 756,183 hektare.
Baca Juga: Alasan KKP Manfaatkan Penukaran Utang untuk Konservasi Terumbu Karang
Kedua, Pemerintah Indonesia menerbitkan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada akhir tahun 2020 dan merevisi kembali pada tahun 2023. Pasal 5 UU Cipta Kerja yang mengatur tentang panas bumi melegalkan tambang panas bumi di wilayah perairan akan menghancurkan hutan mangrove di Indonesia.
Pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. Pasal 3 sampai 7 pada PP 27 Tahun 2021 tersebut menyatakan zona inti pada ekosistem mangrove boleh diubah untuk kepentingan proyek strategis nasional.
“Jadi UU Cipta Kerja dan PP 27 Tahun 2021 menjelaskan betapa agenda rehabilitasi mangrove yang disebut Presiden Jokowi sangat mudah diubah untuk beragam kepentingan proyek strategis nasional yang didominasi kepentingan ekstraktif dan eksploitatif,” papar Parid.
Baca Juga: Peringkat Kedua Indeks Risiko Bencana, Indonesia Jadi Laboratorium Kebencanaan
Ketiga, kawasan mangrove juga tidak mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari negara. Berdasarkan studi yang dilakukan Walhi dalam dokumen berjudul “Negara Melayani Siapa? Potret Ocean Grabbing di Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil dalam 28 RZWP3K di Indonesia”, disebutkan sampai tahun 2040 setidaknya seluas 3.527.120,17 hektare proyek reklamasi sedang dan akan dilaksanakan Pemerintah.
Pengakuan dan perlindungan mangrove hanya diberikan seluas 52.455,91 hektare. Perbandingan yang sangat ironis apabila dibandingkan dengan luasam proyek reklamasi.
Menurut Parid, ketiga bukti tersebut menujukkan absennya keseriusan pemerintah Indonesia dalam melindungi mangrove yang selalu dikampanyekan setiap forum internasional.
Baca Juga: Peran OMC Kini, Basahi Lahan Gambut Sebelum Karhutla Terjadi
“Inilah mengapa Walhi menyebut tidak bisa memimpin dengan contoh atau leading by example. Apa yang disampaikan di forum internasional, secara diametral bertentangan dengan kebijakan dalam negeri,” tegas Parid.
Kemunduran Perlindungan Ekosistem Mangrove
Tak hanya itu, Parid menggarisbawahi bahwa sejak sejak tahun 2022, Pemerintah Indonesia melalui KLHK telah melakukan diskusi mengenai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Sampai sejauh ini, pembahasan RPP ini masih belum begitu masif dilakukan dan mengundang berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya masyarakat pesisir baik laki-laki maupun perempuan.
Berdasarkan kajian Walhi sebagaimana tercantum dalam dokumen Kertas Posisi Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Indonesia, RPP Mangrove, memiliki sejumlah catatan serius.
Baca Juga: Jadikan Pengelolaan Sampah Gaya Hidup Menuju Zero Waste Zero Emission 2050
Discussion about this post