Wanaloka.com – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dipimpin Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengklaim negara berhasil menguasai kembali lahan tambang seluas 321,07 hektare dari dua perusahaan berbeda. Dalam keterangan pers yang disampaikan pada 15 September 2025, disebutkan rinciannya berasal dari konsesi milik PT Weda Bay Nickel (WBN) seluas 148,25 hektare di Maluku Utara dan dari PT Tonia Mitra Sejahtera di Sulawesi Tenggara seluas 172,82 hektare.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menegaskan, klaim itu bukan prestasi yang patut dipuji. Pengembalian sebagian kecil lahan dua konsesi tambang yang mencaplok kawasan hutan secara ilegal tersebut merupakan hasil penertiban Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH). Satgas yang dibentuk pada 4 Februari 2025 melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Nomor 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan tersebut dikenal sebagai Satgas Halilintar.
Dalam siaran pers, Bahli menyatakan Kementerian ESDM merupakan bagian dari Satgas PKH Halilintar tersebut. Menteri ESDM disebut memiliki kedudukan sebagai Tim Pengarah bersama Panglima TNI, Jaksa Agung, Kapolri, serta Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Baca juga: Kepemimpinan Baru Walhi Janjikan Garda Terdepan Keadilan Ekologis
Dalam Pasal 10 Perpres 4 Nomor 2025 disebutkan Satgas PKH diketuai Menteri Pertahanan dengan Wakil Ketua I adalah Jaksa Agung, Wakil Ketua II adalah Panglima TNI dan Wakil Ketua III adalah Kapolri. Para menteri yang terdiri dari Menteri Kehutanan, Menteri ESDM, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Keuangan, Menteri Lingkungan Hidup, dan Kepala BPKP sebagai anggota.
Sedangkan pelaksana yang diatur dalam Pasal 11 diketuai oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus dengan Wakil Ketua I Kepala Staf Umum Tentara Nasional Indonesia, Wakil Ketua II Kepala Badan Reserse Kriminal, dan Wakil Ketua III Deputi Bidang lnvestigasi BPKP. Disebutkan tugas badan pelaksana salah satunya adalah melakukan inventarisasi hak negara atas pemanfaatan lahan kegiatan pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain di dalam kawasan hutan serta optimalisasi penerimaan negara.
“Komposisi ini menunjukkan Satgas Halilintar bukan sekadar tim penegak hukum administratif, melainkan sebuah entitas yang sangat militeristik dalam pendekatan dan struktur,” tegas Divisi Kampanye Jatam, Alfarhat Kasman.
Baca juga: Ancaman Lahan Sawah di Indonesia, Tidak Dilindungi dan Alih Fungsi Kian Mengkhawatirkan
Penempatan figur militer dan aparat penegak hukum di posisi strategis menandakan bahwa pembuat peraturan, yaitu Presiden Prabowo Subianto, memilih pendekatan kekuasaan dan kontrol, bukan transparansi dan partisipasi publik.
Pelibatan Kementerian Pertahanan dalam satgas berpijak pada Pasal 6 huruf (L) yang termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 151 Tahun 2024 tentang Kementerian Pertahanan yang mengakomodir pelaksanaan fungsi lain yang dimandatkan oleh Presiden di luar fungsi dan tugas pokok Kemenhan. Pelibatan Kemenhan dalam urusan penindakan kejahatan di sektor kehutanan terkesan dipaksakan dan irasional, mengingat mandat tersebut diberikan tidak berdasarkan keahlian institusional yang relevan.
Begitu pun pelibatan Panglima TNI sebagai Wakil Ketua II Satgas PKH yang tidak memiliki legitimasi hukum apa pun. Baik UU Nomor 3 Tahun 2025 yang merupakan aturan terbaru tentang Tentara Nasional Indonesia, maupun peraturan lama di bawah UU Nomor 34 Tahun 2004, tak mengenal adanya operasi militer selain perang (OSMP) dalam sektor kehutanan. UU TNI terbaru menjabarkan OSMP ke dalam 16 tugas pokok, yang tidak satu pun di antaranya menyebutkan soal penegakan hukum, terlebih di sektor kehutanan.
Baca juga: BMKG Ingatkan Lagi Potensi Gempa Bumi Megathrust M8,8 di Pesisir Selatan DIY
“Dapat disimpulkan, penunjukan Panglima TNI dalam Satgas PKH ini dilakukan secara ilegal oleh Presiden yang memiliki latar belakang militer,” imbuh Alfarhat.
Publik juga dinilai dapat membaca ada hasrat untuk mengembalikan Polri di bawah kendali TNI melalui pelibatan Kapolri sebagai Wakil Ketua III Satgas PKH. Selain itu, kehadiran Polri dan TNI dapat menimbulkan kerancuan mengenai pembagian tugas dan kewenangan kedua institusi tersebut dalam hal penegakan hukum di sektor kehutanan.
Persoalan lain adalah mekanisme pengembalian lahan kepada negara yang tak dilakukan melalui mekanisme pengadilan yang transparan dan akuntabel. Belajar dari penunjukan Agrinas, yakni perusahaan yang sarat kepentingan Partai Gerindra dan militer, yang diberi mandat langsung untuk mengelola lahan sitaan Satgas PKH yang dikembalikan ke negara, tak menutup kemungkinan lahan tambang yang disita tersebut juga akan diserahkan ke korporasi dengan embel-embel milik negara.
Baca juga: Pemerintah dan DPR Rekomendasikan Pembentukan Badan Pelaksana Reforma Agraria
Jatam menilai, ini menunjukkan sikap hipokrit pemerintah yang terlihat seolah-olah hendak mengutamakan kelestarian kawasan hutan. Namun justru sedang menggandakan keuntungan dari lahan bekas korporasi tambang yang dianggap beroperasi secara ilegal di dalam kawasan hutan.
Alih-alih menunjukkan ketegasan terhadap korporasi besar yang selama bertahun-tahun mengeruk sumber daya alam tanpa izin sah di kawasan hutan, Satgas Halilintar justru terkesan melakukan penertiban simbolik. Pengembalian lahan seluas 321,07 hektare dari konsesi tambang yang luasnya mencapai ribuan hektare hanyalah tindakan kosmetik yang tidak menyentuh akar persoalan utama berupa praktik perampasan ruang hidup dan pelanggaran hukum yang difasilitasi oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan.
‘Pemutihan dosa’ korporasi ekstraktif
Secara normatif, Satgas Halilintar bekerja berdasarkan Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja, yang mengatur mekanisme penyelesaian pelanggaran pemanfaatan kawasan hutan melalui serangkaian mekanisme sanksi dan denda administratif. Mekanisme sanksi dan denda administratif tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Baca juga: Hari Tani 2025, Ribuan Petani Desak Pemerintah Jalankan Reformasi Agraria Segera
Mekanisme pembayaran sanksi dan denda administratif ini tak lebih dari sekadar skema ‘pemutihan’ bagi para korporasi pelanggar untuk ‘menebus dosa’ pelanggaran beraktivitas di dalam kawasan hutan tanpa izin. Selain diberi jaminan dapat meneruskan aktivitas di dalam kawasan hutan, mekanisme dalam Pasal 110A memungkinkan adanya pelepasan status kawasan hutan sepanjang tak ditemukan tumpang tindih dengan perizinan usaha lainnya.
“Jadi Satgas Halilintar bukan hanya gagal menyentuh akar persoalan struktural dalam agenda pertambangan di dalam kawasan hutan, tetapi juga berisiko menjadi instrumen legalisasi pelanggaran demi optimalisasi pendapatan negara,” papar Alfarhat.
Penegakan hukum yang selektif, pendekatan militeristik, dan skema denda administratif yang memberi ruang bagi kelanjutan aktivitas keruk menunjukkan bahwa penertiban ini diduga menjadi cara baru bagi pemerintah untuk ‘memperdagangkan’ pelanggaran.
Baca juga: Titi Mangsa Dinilai Tak Relevan, Petani Gunungkidul Belajar Pahami Prediksi Iklim
Mesin penghancur Halmahera Tengah







Discussion about this post