Wanaloka.com – Kasus keracunan makanan menimpa 127 siswa di Kabupaten Sleman, DIY dan 427 siswa di Kabupaten Lebong, Bengkulu akibat konsumsi menu Makan Bergizi Gratis (MBG). Kejadian yang berulang dalam waktu berdekatan ini menunjukkan ada persoalan mendasar dalam sistem penyediaan makanan di sekolah.
Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM, Prof. Sri Raharjo menilai kasus ini sangat serius karena melibatkan ratusan siswa dalam dua kejadian pada Agustus 2025. Hasil pemeriksaan laboratorium juga mengonfirmasi ada tiga jenis bakteri berbahaya, yaitu E. coli, Clostridium sp., dan Staphylococcus pada sampel makanan dan muntahan korban.
Tidak hanya menimbulkan gejala mual, muntah, dan diare, beberapa siswa harus dirujuk ke fasilitas kesehatan.
Baca juga: Tim Ekspedisi Riset Bawa Pulang Rekaman Data Misteri Kegempaan di Samudra Hindia
“Saya kira kasus ini memperlihatkan ada kegagalan sistemik dalam proses penyiapan, pengolahan, maupun distribusi makanan,” kata Raharjo di Kampus UGM, Jumat, 29 Agustus 2025.
Salah satu tantangan terbesar dalam menjaga standar higienitas makanan pada program MBG adalah lemahnya pengawasan terhadap waktu konsumsi makanan. Makanan yang sudah dimasak seharusnya tidak disimpan lebih dari empat jam agar tidak memicu pertumbuhan bakteri.
Selain itu, kualitas air yang digunakan dalam proses memasak juga harus terjamin bebas kontaminasi. Tidak kalah penting, keterbatasan sumber daya manusia dan kurangnya pemahaman penjamah makanan tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) menjadi faktor risiko.
Baca juga: Tahun 2029 Target Populasi Kedua Badak Jawa Hasil Translokasi dari Ujung Kulon ke JRSCA
“Koordinasi dan evaluasi masih lemah. Perlu evaluasi dan perbaikan sistem yang belum berjalan efektif,” ia menyayangkan.
Solusi, ia menekankan perlunya langkah konkret baik dari pemerintah daerah maupun penyedia katering. Pemerintah diharapkan meningkatkan pengawasan melalui audit rutin, pelatihan berkelanjutan bagi penjamah makanan, serta memberikan sanksi tegas hingga pencabutan izin jika terjadi kelalaian.
Sementara penyedia katering harus menerapkan sistem batch cooking, memastikan air bersih, serta melakukan uji laboratorium mandiri secara berkala. Tak kalah penting, ia juga menekankan peran masyarakat dalam mendukung keberlangsungan program MBG. Siswa perlu menumbuhkan kebiasaan mencuci tangan dan melaporkan jika mengalami gejala setelah makan.
Baca juga: UU Cipta Kerja yang Melegitimasi Perampasan Ruang Hidup Digugat di MK
Belajar dari kasus keracunan MBG di Sleman dan Bengkulu, ia menyatakan keamanan pangan juga menjadi prioritas orang tua untuk dapat memantau kualitas makanan dan berkomunikasi dengan pihak sekolah. Sementara masyarakat umum berperan sebagai pengawas tidak langsung dengan melaporkan indikasi pelanggaran keamanan pangan.
Discussion about this post