Seksi Norma K3 Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Timur, Warga Bagus Pribadi menyebutkan, sektor pertambangan dikenal sebagai sektor yang padat modal dan menggunakan teknologi tinggi. Namun, sektor ini juga memiliki risiko kecelakaan yang tinggi. Dengan demikian, penerapan K3 yang efektif bukan hanya kewajiban perusahaan, tetapi juga hak pekerja.
Baca Juga: Tambang Ilegal di Solok Longsor, 12 Tewas dan 2 Orang dalam Pencarian
Ia mengingatkan, bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja tak boleh diabaikan. Undang-undang ini mewajibkan perusahaan menciptakan lingkungan kerja yang aman, sehat, dan nyaman, serta melakukan upaya promotif dan preventif untuk mencegah penyakit akibat kerja pada pekerja.
Bahkan data BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan sektor pertambangan berada di peringkat ketujuh terkait angka kecelakaan kerja. Antara tahun 2019-2021, angka kecelakaan kerja di sektor pertambangan mencapai total 12.190 kasus.
“Jadi program pelatihan K3 hadir bukan untuk formalitas belaka. Tetapi juga merupakan upaya nyata untuk mengurangi kecelakaan kerja dan meningkatkan produktivitas,” jelas dia dalam acara Seminar Nasional K3 yang digelar Himpunan Mahasiswa Keselamatan dan Kesehatan Kerja (HIMA K3) Fakultas Vokasi (FV) Universitas Airlangga (Unair) di Gedung Kuliah Bersama (GKB) Kampus MERR-C Unair, Sabtu, 28 September 2024.
Baca Juga: Begini Siklus Zat Beracun Arsen Mengontaminasi Tubuh Melalui Makanan
Budaya keselamatan
HSE PT SLS group, Dedik Irawan menekankan pentingnya safety culture atau budaya keselamatan di lingkungan kerja, khususnya di sektor pertambangan. Safety culture merupakan nilai-nilai keselamatan yang melekat pada individu maupun organisasi, baik melalui pendekatan formal maupun informal.
Ia menambahkan, budaya keselamatan melibatkan tiga komponen utama, yaitu perilaku (behaviour), lingkungan (environment), dan individu (person).
“Safety culture melibatkan tanggung jawab bersama antara karyawan dan manajemen. Jika karyawan tidak menganggap keselamatan itu penting, maka mereka tidak akan mampu menerapkan nilai-nilai keselamatan dengan baik,” tegas dia.
Baca Juga: Tim Advokasi Tolak Tambang Ajukan Uji Materiil PP 25 yang Berikan IUPK untuk Ormas Agama
Ia juga mengingatkan bahwa pembentukan safety culture di suatu lingkungan kerja merupakan tanggung jawab bersama.
“Mindset zero accident bisa tercapai apabila ada upaya bersama. Prinsipnya adalah proaktif dan partisipasi dari semua pihak,” imbuh Dedik.
Sementara ketika karyawan ikut terlibat aktif, seperti melaporkan adanya kecelakaan atau potensi bahaya, mereka akan turut membentuk safety behaviour di perusahaan. Transformasi ini harus didukung dengan peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang tepat. [WLC02]
Sumber: Unair
Discussion about this post