Wanaloka.com – Anggota Komisi IV DPR, Daniel Johan menyampaikan keprihatinan mendalam atas meninggalnya aktivis muda asal Nusa Tenggara Timur (NTT), Rudolfus Oktafianus Ruma atau Vian Ruma, 30 tahun yang dikenal aktif dalam gerakan penolakan proyek geotermal atau panas bumi di daerahnya. Atas tragedi ini, Daniel mengingatkan pentingnya perlindungan terhadap aktivis lingkungan.
“Kasus ini tidak hanya menyangkut hilangnya nyawa seorang anak bangsa, tetapi juga menimbulkan tanda tanya besar terkait perlindungan terhadap masyarakat lokal dan aktivis lingkungan yang memperjuangkan kelestarian tanah dan sumber daya alam di wilayahnya,” kata Daniel, Selasa, 9 September 2025.
Aktivis penolak proyek geotermal
Sebelumnya diberitakan, Vian Ruma, aktivis yang aktif dalam gerakan penolakan proyek geotermal di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur ditemukan meninggal dengan posisi tergantung, Jumat, 5 September 2025. Lokasinya di sebuah pondok di tengah kebun yang berada di Desa Tonggo, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo.
Baca juga: Penyelamatan Badak Jawa-Sumatera Tak Hanya Konservasi Kawasan, Juga Konservasi Genetik
Di lokasi juga ditemukan sepeda motor miliknya yang diparkir di luar pondok serta telepon genggam yang tergeletak tak jauh dari posisi korban. Korban sudah dimakamkan di kampung halamannya di Desa Ngera, Kecamatan Keo Tengah, Kabupaten Nagekeo, Sabtu, 6 September 2025.
Pihak keluarga meminta polisi menyelidiki kematian Vian lantaran dinilai ada kejanggalan. Misalnya, tali yang melilit leher korban adalah tali sepatu. Begitu juga posisi kaki korban yang menyentuh lantai. Jika dalam kondisi itu, korban tidak mungkin meninggal.
Di lokasi kejadian juga ditemukan bercak darah. Temuan ini semakin menguatkan keyakinan keluarga bahwa korban diduga mengalami kekerasan.
Baca juga: Fenomena Blood Moon 7-8 September 2025 adalah Salah Satu yang Terlama
Dalam postingan Viantt’s Post berjudul “Gubuk Bambu, Misteri dibalik kematian Vian Ruma” dalam akun Facebook menjelaskan tentang Vian, sapaannya. Bahwa almarhum adalah anak sulung dari pasangan Bapak Ignasius Sare dan Ibu Martha Dore dan memiliki tiga orang adik.
Vian tinggal di Desa Ngera, kampung kecil (Wio) di atas ketinggian lereng gunung perbatasan Mauponggo dan Maunori. Pendidikannya dimulai dari SDK Ngera (2001–2007), kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 2 Mauponggo (2007–2010), dan SMA Negeri 1 Aesesa (2010–2013).
Setelah selesai menamatkan sekolah menengah, Vian melanjutkan pendidikan di Universitas Katolik Unwira di Kupang dengan menekuni ilmu pendidikan sebagai seorang pengajar atau guru. Pada 2017, ia berhasil mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Di Kupang, Vian aktif bergabung di beberapa organisasi kemahasiswaan juga OKP lokal dan nasional. Seperti Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Keo Tengah (Himplket) Kupang dan menjadi ketua pada 2016 – 2017. Vian juga berkecimpung di Perhimpunan Mahasiswa Nagekeo (Permasna) Kupang, juga PMKRI Cabang Kupang.
Setelah menyelesaikan segala aktivitas di Kupang, Vian balik ke kampung halaman dan bekerja sebagai pendidik di SMPN 1 Nangaroro, Madambake. Ia juga lolos seleksi sebagai pegawai P3K dan ditempatkan di Nangaroro.
Sebelum jenazahnya ditemukan pembeli kelapa, Vian diduga tengah beristirahat. Dimungkinkan kelelahan dalam perjalanan menuju Maunori untuk mengikuti kegiatan Mbay Youth Day.
Baca juga: Geopark Kaldera Toba Kembali Menerima Status Green Card
Lokasi tempat kejadian jenazah Vian ditemukan adalah sebuah gubuk bambu di wilayah Kecamatan Nangaroro, yang merupakan perbatasan dengan Maunori Keo Tengah dekat kampung Ndetu Nura. Gubug itu sudah usang termakan usia. Saat ditemukan, Vian dalam kondisi terikat lehernya dengan menggunakan tali sepatu miliknya. Sepasang sepatunya lagi terlihat di sekitarnya bersama dengan sendal miliknya.







Discussion about this post