Wanaloka.com – Terkait dugaan adanya sertipikat kawasan pagar laut Tangerang, Banten, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) melakukan investigasi. Menteri ATR/BPN Nusron Wahidmengutus Dirjen Survei dan Pemetaan Pertanahan dan Ruang (SPPR) untuk berkoordinasi dengan Badan Informasi Geospasial (BIG) terkait garis pantai kawasan Desa Kohod.
“Ini untuk memastikan apakah bidang-bidang tanah tersebut berada di dalam atau di luar garis pantai. Data dokumen pengajuan sertipikat yang diterbitkan sejak tahun 1982 akan dibandingkan dengan data garis pantai terbaru hingga tahun 2024,” kata Nusron dalam konferensi pers di Aula PTSL, Jakarta, Senin, 20 Januari 2025.
Hasil temuan awal, Nusron membeberkan, bahwa memang benar terdapat Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertipikat Hak Milik (SHM) yang terbit di kawasan pagar laut Tangerang, Banten.
Baca juga: Mengenal Virus HMPV, Mengapa Pencegahan Lewat Gaya Hidup Ala Pandemi Covid-19?
Bahwa ada 263 bidang tanah dalam bentuk SHGB dengan kepemilikan sebanyak 234 bidang tanah atas nama PT Intan Agung Makmur dan sebanyak 20 bidang tanah atas nama PT Cahaya Inti Sentosa serta 9 bidang tanah atas nama perorangan. Selain itu terdapat SHM sebanyak 17 bidang.
Nusron menyampaikan, hasil koordinasi pengecekan tersebut menunjukkan, sertipikat yang telah terbit terbukti berada di luar garis pantai, sehingga akan dilakukan evaluasi dan peninjauan ulang.
“Jika ditemukan cacat material, cacat prosedural, atau cacat hukum, sesuai dengan PP (Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021), maka sertipikat tersebut dapat dibatalkan tanpa harus melalui proses pengadilan, selama usianya belum mencapai lima tahun,” tegas Nusron.
Baca juga: Kasus PMK Ternak di Indonesia Butuh Penanganan Segera dan Serius
Ia juga menyampaikan apresiasinya kepada masyarakat yang telah memanfaatkan aplikasi BHUMI ATR/BPN untuk melakukan pengecekan terkait hal ini. Menurut dia, aplikasi tersebut telah berhasil menjadi sarana transparansi terhadap kinerja jajaran Kementerian ATR/BPN.
Berafiliasi dengan PT Agung Sedayu Group
Sementara berdasarkan penelusuran Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dalam data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) per 20 Januari 2025 pukul 13.00 WIB, dua perusahaan yang total mendapatkan SHGB sebanyak 254 bidang tanah itu terindikasi berafiliasi dengan PT Agung Sedayu Group, sebuah korporasi pengembang properti raksasa. Afiliasi itu terlihat dari kepemilikan saham PT Agung Sedayu dan PT Pantai Indah Kapuk (PIK) Dua.
Selain itu, afiliasi Agung Sedayu Group terlihat dari bercokolnya nama Belly Djaliel dan Freddy Numberi (Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan 2004-2009) sebagai Direktur dan Komisaris pada dua perusahaan tersebut. Dua nama perorangan tersebut merupakan pengurus pada beberapa entitas usaha Agung Sedayu Group. Nama-nama itu muncul dalam Data AHU Perusahaan yang diakses per 20 Januari 2025 pukul 13.00 WIB.
Baca juga: Pakar UGM Desak Proyek Lahan 20 Juta Ha Ditinjau Ulang, Manfaatkan Lahan Tak Produktif
Kepemilikan saham Agung Sedayu Group melalui entitas usaha dan orang-orang afiliasinya pada dua perusahaan pemegang SHGB di wilayah laut yang dipagari sepanjang 30 kilometer itu semakin menguatkan dugaan banyak pihak, bahwa korporasi pengembang properti raksasa tersebut terlibat dalam kasus pemagaran laut.
Walhi menegaskan, penerbitan Sertipikat Hak Atas Tanah (HAT) dalam bentuk SHGB dan SHM pada korporasi maupun perorangan di wilayah laut merupakan pelanggaran hukum. Pelanggaran atau malpraktik dalam proses penerbitan sertipikat tersebut harus diusut tuntas.
Perampasan ruang laut
Di sisi lain, pemagaran laut ini juga merupakan bentuk dari perampasan ruang laut (ocean grabbing) sebagaimana telah diserukan Walhi terhadap proyek reklamasi di 28 provinsi, termasuk proyek pertambangan pasir laut. Ocean grabbing mengacu pada perampasan penggunaan, kontrol atau akses terhadap ruang laut atau sumber daya dari pengguna sumber daya sebelumnya, pemegang hak atau penduduk.
Baca juga: Gunung Ibu 17 Kali Erupsi, Tim Gabungan Percepat Evakuasi Warga Lima Desa
Perampasan laut terjadi melalui proses tata kelola yang tidak tepat dengan menggunakan tindakan yang merusak mata pencaharian masyarakat atau menghasilkan dampak yang merusak kesejahteraan sosial-ekologis. Perampasan laut dapat dilakukan lembaga publik, kepentingan pribadi atau kepentingan sekelompok orang.
Discussion about this post