Wanaloka.com – Saban menjelang puasa, Gusmiati Siregar (28) memiliki kesibukan rutin di pondok ladangnya di Dusun Sitandiang, Desa Bulumario, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Ini saatnya membuat kolang-kaling, panganan tradisional yang laris pada bulan puasa dan Lebaran.
Pagi menjelang siang, dia sedang merapikan janjang buah aren yang dipanen dari pohon dekat pondoknya yang berada di tepian hutan Batangtoru. Merupakan tugas kaum lelaki memanen janjang itu dari pohon, sementara kaum perempuan memasaknya.
Tahapan pertama dari olahan itu adalah merebus. Buah dimasukkan ke dalam tong rebusan. Selama dua jam, kayu-kayu kering yang diambil dari hutan sekitar, menjadi bara api yang menyala kuat. Setelah dingin, buah aren dipotong ujungnya, lalu dengan alat penekan sederhana, buah kolang-kaling yang putih seperti rambutan, dikeluarkan dari cangkangnya. Setiap buah aren biasanya berisi tiga kolang-kaling, namun kadang ada juga yang berisi empat.
Baca Juga: Perubahan Iklim Tahap Kritis, Kekeringan dan Banjir Terus Berlanjut Tiap Tahun
Kolang-kaling yang baru selesai direbus itu masih belum bisa dimakan. Masih harus diproses lagi. Dipukul-pukul hingga pipih dan kemudian direndam dengan air biasa. Setelah sepekan dalam rendaman, jadilah kolang-kaling itu bentuknya pipih seperti yang biasa ditemukan di pasar. Nantinya bisa diolah menjadi manisan, dikolak atau bahan untuk es campur.
“Kalau tidak direndam, tidak bisa dimakan. Akan gatal,” kata Gusmiati.
Bagi Gusmiati, usaha membuat kolang-kaling ini hanyalah kegiatan tahunan. Sekitar dua minggu menjelang dan saat puasa. Melalui proses yang panjang itu, dapat dihasilkan sekitar 200 kg kolang-kaling. Dijual Rp 6 ribu per kg kepada pengepul yang datang menjemput ke rumah. Lumayan sebagai tambahan biaya rumah tangga bagi warga dusun ini.
Bagian Konservasi







Discussion about this post