Wanaloka.com – Komisi XIII DPR RI menyatakan menolak relokasi warga secara paksa di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo, Riau.
“Itu bukan lagi ditunda, tapi ditolak, karena relokasi paksa jelas melanggar hak asasi manusia,” tegas Wakil Ketua Komisi XIII DPR, Sugiat Santoso dalam pertemuan bersama masyarakat, Kementerian HAM, Komnas HAM, dan LPSK di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin, 29 September 2025.
Kawasan tersebut sudah dihuni puluhan ribu warga sejak ratusan tahun sebelum Indonesia merdeka. Ia menilai pemindahan paksa tidak hanya akan mengorbankan aspek ekonomi, tetapi juga sejarah, sosial, budaya, agama, hingga adat istiadat masyarakat setempat.
“Kalau itu dilakukan, mereka bukan hanya kehilangan mata pencaharian, tapi juga identitas, sejarah, dan budaya. Itu tidak boleh terjadi,” ujar Politisi Fraksi Partai Gerindra itu.
Baca juga: Inovasi Riset Pangan Lokal Lewat Padi Gamagora 7 dan Pandanwangi Cianjur
Sugiat juga mengingatkan tujuan pembentukan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) adalah menindak korporasi yang mengambil kawasan hutan secara ilegal, bukan untuk berhadapan dengan rakyat. Ia menilai langkah represif justru bertentangan dengan semangat Astacita Presiden Prabowo Subianto.
“Satgas PKH itu niat luhur Pak Prabowo, bukan untuk melawan rakyat. Jadi kesimpulan pertama, kita rekomendasikan menolak relokasi,” ucap dia.
Penolakan relokasi juga disampaikan Anggota Komisi XIII DPR Kartika Sandra Desi. Bahkan saat ia masih menjadi Anggota Komisi IV pun telah menyatakan, bahwa kebijakan relokasi warga di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo, Riau, tidak tepat dan harus dibatalkan. Ia teringat Menteri Kehutanan masa itu menyatakan SK Kehutanan merupakan bagian dari inventaris kawasan hutan sehingga Satgas PKH seharusnya tidak menakut-nakuti masyarakat.
Baca juga: Klaim Ramah Lingkungan, Anggota Komisi XII DPR dan Pakar Ingatkan Risiko Energi Panas Bumi
“Ini sudah sering Komisi IV rapat dengan (Kementerian) Kehutanan dan saya pastikan Menteri Kehutanan mengatakan bahwa ini adalah inventaris hutan, bukan untuk melarang masyarakat memetik hasil dari kebunnya. Itu jaminan dari menteri kehutanan bahwa masyarakat itu masih boleh untuk menikmati hasil yang sudah dia tanam, sampai ada keputusan tetap bahwa apakah benar ini nanti petanya itu masuk dalam hutan kawasan,” papar Kartika.
Hilangkan hak ekonomi
Sementara Anggota Komisi XIII DPR Siti Aisyah menegaskan penetapan kawasan hutan Tesso Nilo yang tumpang tindih dengan pemukiman dan lahan masyarakat, telah merugikan rakyat. Kondisi tersebut berimplikasi pada hilangnya hak ekonomi, pendidikan, hingga akses perbankan bagi warga.
“Bukan masyarakat yang berada di dalam Taman Nasional (TN) Tesso Nilo, tapi justru TN itu yang ditetapkan di atas tanah masyarakat. Bahkan ada yang sudah bersertifikat sejak 1998, jauh sebelum penetapan kawasan hutan tahun 2004,” jelas Siti.
Baca juga: Tren Pertanian Organik Meningkat, Dorong Pemanfaatan Pestisida dan Pupuk Nabati
Ia mencontohkan banyak desa yang sudah definitif, memiliki sekolah, fasilitas umum, bahkan makam leluhur, tiba-tiba dinyatakan sebagai kawasan hutan. Kondisi ini membuat sertifikat tanah gugur dan perekonomian warga terpuruk.
“Ketika tanah sudah jadi kawasan, sertifikat tidak berlaku. Bank pun tidak mau menjaminkan. Dulu 2 hektare bisa jadi jaminan Rp200 juta, sekarang hanya Rp5 juta atau Rp10 juta. Ini jelas melanggar hak masyarakat,” ujar Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Ia juga menilai Kementerian HAM belum berpihak penuh kepada rakyat. Ia menekankan hak asasi manusia bukan hanya terkait kekerasan fisik, tetapi juga soal ekonomi dan penghidupan layak.
Baca juga: Pakar Tegaskan Sekolah dan Orang Tua Bisa Menolak MBG Akibat Keracunan Berulang







Discussion about this post