Wanaloka.com – Istilah “krisis pangan” telah menjadi masalah bertaraf global. Penduduk sejumlah negara mulai kesulitan mendapatkan bahan makanan. Lantas, untuk negara yang penduduknya masih bisa makan, apakah berarti tidak mengalami krisis pangan?
“Orang boleh abai karena masih bisa makan. Tapi sesungguhnya krisis pangan sudah terasa, karena harga bahan pangan naik,” kata Pengamat Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Jaka Widada.
Tanda-tanda krisis pangan sudah ada di depan mata. Jaka memaparkan, mulai dari iklim yang tidak menentu, hujan ekstrem, bencana alam, wabah penyakit. Dampaknya, petani gagal panen karena kebanjiran, kekeringan, atau pun karena hama dan penyakit.
Baca Juga: Walhi: Krisis Iklim dan Penangkapan Ikan Terukur Sebabkan Jumlah Nelayan Turun
Tanda-tanda yang lain adalah jumlah penduduk terus naik dan tak sebanding dengan kenaikan jumlah pangan. Data Badan Pangan Sedunia (FAO) memperkirakan jumlah penduduk dunia pada 2050 tembus 10 miliar. Jumlah itu memerlukan persediaan pangan yang luar biasa banyak.
Jika tak ingin terjadi kelaparan, maka harus ada peningkatan produksi pangan dunia. Idealnya, berkisar 70 persen. Apabila produksi pangan sebagian negara masih sekitar 10 persen, bukan persoalan mudah untuk mengatasinya. Artinya, kondisi tiap-tiap negara berbeda.
“Bisa saja pada tahun-tahun itu akan banyak tragedi kelaparan juga. Negara-negara seperti Cina, Israel, Amerika, Uni Eropa sudah mempersiapkan sejak sekarang,” kata Jaka.
Baca Juga: Pakar Oseanografi: Air Laut Bisa Jadi Solusi Krisis Air Bersih di Indonesia
Pesoalan Krisis Pangan dan Solusinya
Beberapa upaya untuk mengatasi krisis pangan, antara lain bagaimana menghadapi perubahan iklim, pengembangan varietas yang adaptif, persoalan pupuk, persoalan perilaku tidak boros, dan persoalan regenerasi petani. Perubahan iklim berupa pemanasan global membuat suhu bumi lebih panas dan CO2 lebih tinggi sehingga menyebabkan penurunan hasil produksi, bahkan gagal panen.
Persoalan lain yang dihadapi adalah krisis air. Apabila masyarakat saat ini mengandalkan air tanah sebagai sumber pengairan dikhawatirkan 10 tahun ke depan sumber-sumber air habis. Akibatnya, muncul kekeringan permanen di sejumlah daerah.
“Langkah PUPR membangun embung sudah benar, tapi terkadang belum tepat. Sebab tidak memperhatikan posisi strategis embung sebagai daerah tampungan air,” ucap Jaka.
Baca Juga: IPCC: Krisis Iklim Memakan Korban Jiwa, Perbankan Harus Hentikan Pendanaan Batu Bara
Juga solusi berupa pengembangan varietas-varietas tanaman yang adaptif terhadap perubahan iklim. Misalnya pengembangan varietas Gama Gora yang didesain lebih membutuhkan sedikit air, tetapi jenis varietasnya hampir sama. Jaka menggambarkan, jika produktivitas satu kilogram beras dengan varietas saat ini memerlukan sekitar 2.500 liter air, maka varietas Gama Gora diharapkan hanya membutuhkan air di bawah 100 liter atau 50 liter untuk satu kilogram beras.
Kemudian persoalan pupuk mahal. Harga pupuk dimungkinkan terus naik seiring kelangkaan sumber daya alam pembuat pupuk, seperti gas alam dan lain-lain. Menurut Jaka, perlu pengembangan Teknik budi daya pertanian yang bisa menghemat pupuk. Terutama membuat pupuk secara mandiri berdasarkan pengembangan biologi tanah dan biologi tanaman yang bisa menggantikan pupuk pabrikan.
Jaka mencontohkan teknologi pembuatan pupuk yang didistribusikan dari Aceh hingga ke Riau. Orang bisa membuat pupuk nitrogen sendiri dengan harga murah dan bisa menggantikan 50 persen dari pupuk yang harus digunakan.
Baca Juga: Jokowi Tak Singgung Pemulihan Lingkungan dalam 5 Agenda Nasional, Walhi: Tanah Air Punya Siapa?
Discussion about this post