Wanaloka.com – Berdasarkan dokumen Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2021, jumlah nelayan di Indonesia terus mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir. Pada 2010, jumlah nelayan tercatat sebanyak 2.16 juta orang dan turun menjadi 1.83 juta orang pada 2019. Artinya, terdapat penurunan jumlah nelayan sebanyak 330.000 orang sepanjang tahun 2010–2019.
“Penyebab penurunan jumlah nelayan karena krisis iklim dan ekspansi industri ekstraktif di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil,” kata Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Parid Ridwanuddin dalam siaran pers tentang Peringatan Hari Nelayan, 6 April 2022.
Terkait dengan krisis iklim, nelayan di berbagai wilayah di Indonesia sangat terdampak karena aktivitas menangkap ikan di laut sangat mengandalkan cuaca yang bersahabat. Jika cuaca di laut tidak bersahabat, maka nelayan tidak bisa pergi melaut. Selain itu, krisis iklim membuat nelayan sulit memprediksi cuaca. Selain memperburuk cuaca, gelombang di laut menjadi semakin tinggi akibat krisis iklim. Kondisi ini memaksa nelayan tidak melaut.
Baca Juga: Catatan Hari Meteorologi Dunia 2022: Indonesia Belum Punya Satelit Deteksi Dini Bencana
Akibat krisis iklim, nelayan di Indonesia hanya bisa pergi melaut selama 180 hari atau enam bulan dalam satu tahun. Kondisi ini memperburuk kehidupan sosial dan ekonomi nelayan sehingga memaksa mereka beralih profesi.
“Krisis iklim juga telah menyebabkan kematian nelayan di perairan Indonesia terus meningkat,” kata Parid.
Walhi mencatat pada 2020, jumlah nelayan yang meninggal di laut tercatat sebanyak 251 orang. Angka ini mengalami peningkatan dari 2010 yang jumlahnya hanya 86 orang.
Baca Juga: Analisis Gempa Yogyakarta 4,5 Magnitudo, Daryono: Patut Disyukuri Belum Ada Laporan Kerusakan
Mendatang, krisis iklim akan terus memperburuk kehidupan nelayan di Indonesia. Bedasarkan laporan terbaru Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang terbit pada 28 Februari 2022, krisis iklim dilaporkan akan memperparah peningkatan suhu dan memaksa ikan berpindah dari wilayah tropis serta akan mengurangi pendapatan Indonesia dari penangkapan ikan sebesar 24 persen. Di Asia Tenggara, 99 persen terumbu karang akan mengalami pemutihan dan mati karena krisis iklim pada 2030 dan 2050. Kemudian 95 persen terumbu karang akan mencapai kategori level ancaman tertinggi sehingga berdampak pada perikanan yang bergantung dengan karang.
Ancaman Industri Ekstraktif
Penurunan jumlah nelayan di Indonesia sangat erat dengan ekspansi industri ekstraktif di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Di wilayah pesisir, nelayan harus berhadapan dengan ekspansi proyek reklamasi dan pertambangan di Indonesia. Berdasarkan data Walhi, sebanyak 747.363 keluarga nelayan di Indonesia terdampak oleh proyek reklamasi. Sampai dengan 2040, pemerintah Indonesia merencanakan wilayah reklamasi seluas 2.698.734,04 hektare dari angka 79.348 hektare pada 2020.
Pemerintah Indonesia juga mendorong ekspansi proyek pertambangan di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang menyebabkan lebih dari 35 ribu keluarga nelayan di Indonesia kehilangan ruang hidupnya. Selain itu, kawasan perairan dari 6.081 desa pesisir telah tercemar limbah pertambangan. Sampai dengan 2040, pemerintah telah merancanakan proyek pertambangan di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil seluas 12.985.477 hektare.
Baca Juga: Puasa Bikin Tubuh Lemas dan Lapar? Coba Cek Menu Sahur Anda
Penangkapan Ikan Terukur
Salah satu industri ekstraktif yang kini didorong oleh pemerintah Indonesia adalah kebijakan penangkapan ikan terukur.
“Kebijakan ini merupakan aturan turunan dari UU Cipta Kerja yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi sebagai inkonstitusional bersyarat,” kata Parid mengingatkan.
Melalui kebijakan penangkapan ikan terukur, pemerintah akan memberikan konsesi kepada sejumlah korporasi besar untuk menangkap ikan berdasarkan kuota di sejumlah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) dengan sistem kontrak selama jangka waktu tertentu. Dengan sistem kuota kontrak, perusahaan penangkapan ikan akan mendapat keistimewaan luar biasa. Sebab 66,6 persen kuota sudah dikuasai oleh perusahaan dan bisa tambah sampai 95 persen.
Kebijakan ini akan mendorong persaingan bebas antara nelayan dengan kapal-kapal besar di lautan Indonesia. Kebijakan penangkapan ikan terukur adalah bentuk privatisasi, swastanisasi, dan liberalisasi sumber daya ikan di Indonesia yang meminggirkan nelayan dari ruang hidupnya.
Baca Juga: Ini Sumber Gempa Bukittinggi, Lindu Tahun 1926 Ratusan Orang Meninggal Dunia
“Penangkapan ikan terukur adalah karpet merah yang diberikan kepada korporasi untuk mengeksploitasi sumber daya ikan,” kata Parid.
Nantinya, kebijakan tersebut akan mendorong penurunan jumlah nelayan di Indonesia yang selama ini berjasa bagi penyediaan pangan di Indonesia.
Discussion about this post