Baca Juga: Mochammad Lazuardi, Ciptakan Drench untuk Memudahkan Hewan Minum Obat
“Mudah-mudahan Freeport juga membuka diri. Sekalipun berdasar datanya, wilayah terdampak ini bukan tanggung jawab dia, tetapi kan tailing ini tidak ada sebab dari tempat lain. Hanya satu-satunya Freeport yang membuang tailing yang dampaknya sampai ke desa-desa tadi. Mudah-mudahan nanti jadi bagian dari tanggung jawab penyelesaian masalah ini,” harap legislator dari daerah pemilihan Papua itu.
Akuisisi 51 Persen Saham Tak Berdampak
Operasi penambangan PT. Freeport Indonesia yang telah berlangsung lebih dari setengah abad di Tanah Papua telah menimbulkan derita berkepanjangan bagi warga dan lingkungan hidup. Setelah gunung dibabat, tanah dirampas dan dilubangi, sungai sebagai ruang hidup warga asli Papua – terutama suku Kamoro dan Suku Sempan – menjadi beracun akibat jutaan ton limbahnya setiap hari.
Selain tercemar, sungai-sungai yang esensial bagi transportasi dan sumber hidup warga mengalami pendangkalan, hingga sebagian pemukiman penduduk terisolir. Lebih dari 300 juta ton limbah tailing yang dibuang ke sungai diduga sebagai pemicu munculnya wabah penyakit kulit bagi warga, sebagaimana dialami warga kampung Otakwa (Ohotya).
Baca Juga: NTT Rawan Bencana, BMKG Siapkan Pelayanan Terpadu dan Radar Cuaca
Ironisnya, kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang ditengarai terjadi itu diabaikan hingga saat ini. Pemerintah dan Freeport dinilai hanya peduli soal saham dan cuan, memastikan pendapatan negara terus mengalir, dan tak terganggu.
Pihak Freeport tampak enggan bertanggungjawab atas segala daya rusak yang dialami warga Suku Sempan, Amungme, Kamoro. Terutama warga yang tersebar di 23 kampung di Distrik Jita, Distrik Agimuga, dan Distrik Mimika Timur Jauh. Freeport berdalih menggunakan peta wilayah konsesi sebagai dasar pemberian kompensasi terhadap warga terdampak.
Presiden Joko Widodo usai melakukan divestasi saham Freeport sebesar 51,2 persen mewanti-wanti publik untuk tak lagi menganggap Freeport milik Amerika. Realitasnya, komposisi kepemilikan saham yang besar itu justru tak berdampak pada munculnya kedaulatan negara untuk memastikan ada penegakan hukum atas kejahatan korporasi. Sebaliknya, kejahatan demi kejahatan dibiarkan dan dilanjutkan. Bahkan negara justru menjadi bagian dari pelaku kejahatan itu sendiri.
Baca Juga: MOU KLHK dan Yayasan ARSARI Djojohadikusumo untuk Keanekaragaman Hayati
Atas seluruh temuan tindak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan di atas, Kepala Divisi Hukum Jatam, M. Jamil berpandangan, akuisisi saham Freeport sebesar 51 persen tak berdampak pada menguatnya kedaulatan pemerintah Indonesia untuk mengatur Freeport agar taat dan patuh pada hukum dan peraturan yang berlaku.
“Sedang berlangsung pagelaran pelanggaran hukum yang dilakukan secara bersama oleh korporasi dan negara dengan melakukan pembiaran atas praktik kejahatan tanpa adanya penegakan hukum. Hal ini jelas menunjukkan pembangkangan oleh korporasi–negara secara terang-terangan terhadap konstitusi UUD 1945,” tegas Jamil.
Menurut Jamil, pembiaran atas seluruh tindak kejahatan itu tidaklah mengherankan.
“Pemerintah Indonesia telah berkali-kali kehilangan akal sehat dan tunduk pada Freeport,” tukas Jamil.
Baca Juga: Aktivitas Kawah Bromo Meningkat, Gunung Semeru Meletus
Ia pun menjabarkan bentuk-bentuk dugaan ketertundukan itu. Pertama, Presiden Megawati pada 2004 menerbitkan Keppres yang melegalkan 13 perusahaan tambang yang lahannya tumpang tindih dengan hutan lindung. Mereka diizinkan melanjutkan kegiatan operasionalnya di kawasan tersebut hingga kontraknya berakhir. Dan Freeport menempati nomor urut pertama.
Kedua, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), menghapus Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2014 dengan mengeluarkan Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2016. Akhirnya memberi keleluasaan bagi Freeport untuk tetap melakukan ekspor bahan tambang mentah konsentrat ke luar negeri.
Ketiga, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kehilangan akal sehat pada 2018 dengan menjadikan lima sungai sebagai tempat pembuangan limbah beracun (merkuri dan sianida). Mestinya saat menemukan 22 kegiatan melanggar Amdal, salah satunya perluasan ukuran tambang terbuka grasberg dari 410 hektare menjadi 584 hektar, adalah melakukan penegakan hukum. Namun KLHK justru malah menerbitkan surat agar Freeport menyusun Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH).
Baca Juga: Dua Beruang Madu Korban Jerat di Perkebunan Sekitar TNGL Langkat
Keempat, temuan BPK yang menyebutkan operasional produksi Freeport mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp185 triliun. Sebab Freeport menggunakan kawasan hutan lindung seluas minimal 4.535 hektare tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
Freeport juga dinilai menyalahi aturan karena diduga hanya memilih orang-orang tertentu untuk membicarakan AMDAL yang menjadi syarat terbitnya perizinan lingkungan dan dokumen-dokumen lain terkait aktivitas tambang. Tindakan Freeport itu dinilai siasat licik karena mengakibatkan konflik sosial antar masyarakat.
Baca Juga: Sejarah Observatorium Bosscha dalam Tiga Keping Perangko
Jamil mengingatkan, model pelibatan masyarakat ala Freeport adalah salah secara hukum, melanggar ketentuan Pasal 26 UU PPLH 32/2009 dan turunannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup 17/2012 Tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Amdal dan Izin Lingkungan.
“Jika proses tersebut tetap diteruskan Freeport bersama Menteri LHK, maka amdal dan perizinan lingkungan yang dihasilkan cacat prosedur dan cacat yuridis sehingga harus batal demi hukum,” tegas Jamil. [WLC02]
Discussion about this post