Wanaloka.com – Puluhan masyarakat dan perempuan pesisir serta pelestari ekosistem pesisir dan laut dari 12 provinsi dari Sumatera sampai Maluku Utara berkumpul di Jakarta untuk terlibat aktif dalam Simposium Masyarakat dan Perempuan Pesisir yang digelar sejak 18 Desember 2023. Ada empat momentum penting yang mendorong gelaran simposium:
Pertama, mengevaluasi 10 tahun perjalanan pemerintahan Joko Widodo, khususnya dalam pengurusan sumber daya pesisir dan laut serta perlindungan nelayan sekaligus perempuan nelayan.
Kedua, menyuarakan kepentingan lebih dari 8 juta masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan perempuan nelayan terkait keadilan iklim pasca penyelenggaraan COP 28 di Dubai.
Baca Juga: Gempa Dangkal Garut dan Tasikmalaya Dipicu Aktivitas Penyesaran
Ketiga, mengonsolidasikan kepentingan masyarakat dan perempuan pesisir serta menyampaikannya kepada publik dalam perhelatan pemilihan presiden dan calon presiden 2024-2029.
Keempat, mengonsolidasikan gagasan masyarakat dan perempuan pesisir untuk mengarusutamakan keadilan iklim, kedaulatan pangan di pesisir, laut, dan pulau kecil, ke dalam RPJPN 2025-2045 serta RPJMN 2025-2029.
Masyarakat dan perempuan pesisir yang menjadi peserta simposium menyebut keterlibatan mereka untuk menegaskan, bahwa masyarakat dan perempuan pesisir merupakan pemilik sah Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Mereka adalah pemilik sah pesisir, laut, dan pulau kecil.
Baca Juga: Fakultas Teknik UGM Sulap Batu Bara Jadi Asam Humat yang Suburkan Tanah
“Karena itu, kami hadir di dalam simposium penting ini,” seru mereka.
Masyarakat dan perempuan pesisir menggarisbawahi, bahwa selama 10 sepuluh tahun Jokowi memimpin Indonesia, kehidupan masyarakat dan perempuan pesisir tidak mengalami perbaikan kualitas. Sebab akibat kebijakan dan praktiknya tidak berpihak kepada masyarakat dan lingkungan hidup. Sementara masyarakat terus menghadapi dampak buruk krisis iklim.
Banyak persoalan penting yang dihadapi selama 10 tahun itu, antara lain:
Pertama, Pemerintah telah mengeluarkan regulasi yang semakin memperlemah keberadaan nelayan dan perempuan nelayan, seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU IKN, PP Penangkapan Ikan Terukur, dan PP Pengelolaan Sedimentasi di Laut. Semuanya bermuara pada pemusnahan masyarakat dan perempuan pesisir.
Baca Juga: Cawapres Dukung Ekonomi Ekstraktif, Walhi: Gagal Perbaiki Kualitas Lingkungan Hidup
Kedua, ruang hidup masyarakat dan perempuan pesisir harus berhadapan dengan berbagai proyek pembangunan yang mengancam akan menggusur kampung-kampung nelayan dan perempuan nelayan. Berbagai proyek atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN) terus dikebut dari Sumatera sampai Papua.
PSN di Kepulauan Riau, khususnya di Pulang Rempang menggusur masyarakat; PSN di Maluku Utara, khususnya hilirisasi nikel terbukti memporakporandakan pulau-pulau kecil; PSN di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, terbukti melanggengkan kemiskinan masyarakat dan perempuan pesisir; PSN tol tanggul laut Semarang-Demak di Jawa Tengah menghancurkan kawasan mangrove; PSN Makassar New Port menghancurkan kawasan tangkap nelayan di perairan Spermonde.
Ketiga, alokasi ruang permukiman nelayan, termasuk perempuan nelayan di dalam tata ruang laut atau RZWP3K di 28 provinsi terbukti sangat timpang dan tidak adil. Sebab alokasi ruang untuk proyek reklamasi dan pertambangan pasir laut jauh lebih besar mencapai 3.590.883 hektare. Sementara pemukiman nelayan hanya seluas 1.256,90 hektare.
Baca Juga: Komisi VII DPR Minta Penghentian Sementara Operasional Smelter PT ITSS
Keempat, krisis iklim telah menyebabkan banyak desa pesisir tenggelam di banyak tempat. Di pantai Barat Sumatera dan di Pantai Utara Jawa, khususnya Jakarta dan Jawa Tengah, puluhan orang menjadi pengungsi iklim karena desanya tenggelam.
Kelima, krisis iklim juga telah membuat nelayan semakin miskin. Lebih dari 70 persen pendapatan nelayan menurun drastis karena laut semakin tidak bersahabat. Sebelumnya mereka bisa mendapatkan hasil tangkapan minimal 200 kilogram. Akibat krisis iklim, kini mereka kesulitan mendapat hasil tangkapan sekadar 5 kilogram saja.
Jika penduduk miskin di Indonesia pada 2022 berjumlah 26,16 juta jiwa (September 2022), kemiskinan wilayah pesisir menyumbang 68 persen dari total angka kemiskinan di Indonesia. Kemiskinan dan krisis iklim juga dirasakan dampaknya secara khusus oleh anak perempuan di Kodingareng, Sulawesi Selatan. Sebab kemiskinan struktural yang semakin parah mengakibatkan perkawinan anak menjadi marak terjadi dan menyebabkan sejumlah kompleksitas masalah lain, seperti kesehatan reproduksi, kehamilan berisiko, kekerasan dalam rumah tangga, hingga perceraian.
Baca Juga: Capres Cawapres Dukung Hilirisasi Nikel, Jatam: Untungkan Pebisnis, Miskinkan Warga
Discussion about this post