Wanaloka.com – Awal 2022, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meluncurkan program Taksonomi Hijau versi 1.0. Program ini jadi panduan bersama untuk mengetahui kegiatan ekonomi mana saja yang berbahaya dan tidak berbahaya bagi lingkungan. Kehadiran Taksonomi Hijau diharapkan mampu mendorong akselerasi pembiayaan transisi energi yang mendukung upaya perlindungan lingkungan hidup dan mitigasi, serta adaptasi perubahan iklim yang sejalan dengan komitmen Indonesia menuju net zero emission.
Masyarakat sipil mendorong OJK menerapkan Taksonomi Hijau sejalan dengan prinsip transisi berkeadilan (just transition). Harapannya, keberlanjutan lingkungan serta prinsip sosial dan HAM dalam proses transisi energi menuju energi bersih terbarukan dapat terlaksana dengan baik.
Melalui siaran pers yang diterima Wanaloka.com, 15 September 2022, Program Manager dari Perkumpulan Prakarsa, Herni Ramdlaningrum menilai Taksonomi Hijau 1.0 muncul dari peningkatan kesadaran global terkait pentingnya aspek keberlanjutan. Mengingat Industri keuangan merupakan aktor penting mencapai agenda perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan.
Baca Juga: Studi Oxford, Transisi Cepat ke Energi Terbarukan Lebih Mahal adalah Salah
Meski demikian, ada beberapa catatan penting yang perlu digarisbawahi terkait Taksonomi Hijau di Indonesia. Salah satunya soal penggunaan labelisasi “lampu merah”, yakni merah, kuning, hijau.
“Sub-sektor kuning dinilai merupakan sebuah kompromi dan berpotensi menyesatkan,” jelas Herni yang mencontohkan perusahaan yang mendapat label kuning antara lain industri batu bara.
Taksonomi Hijau 1.0 juga masih memiliki kelemahan apabila dilihat dari sisi dimensi inklusivitas, kesetaraan gender, dan penegakan HAM.
“OJK harus mengambil posisi tegas terkait beberapa sektor yang masih dilabeli kuning karena akan kontra produktif dengan agenda transisi energinya,” imbuh Herni.
Herni berharap OJK memiliki timeframe yang jelas untuk memutuskan secara serius dengan mempertimbangkan dimensi sosial.
“Semoga yang dikategorikan kuning (seperti batu bara) dapat berubah menjadi merah,” kata Herni.
Baca Juga: Jepang Hentikan Pinjaman Proyek PLTU Indramayu, Walhi: Perbankan Juga Harus Hentikan Pendanaan
Analis Senior Climate Policy Initiative, Luthfyana Larasati menambahkan terjadi tren peningkatan partisipasi sektor swasta di sektor investasi hijau sejak ditetapkannya Peraturan OJK Nomor 51 Tahun 2017 tentang Keuangan Berkelanjutan hingga adanya Taksonomi Hijau 1.0.
“Taksonomi Hijau seharusnya berpeluang memperlebar cakupan pelaporan kegiatan berkelanjutan POJK 51, karena telah mencakup 919 sub sektor yang sesuai dengan Standar Klasifikasi Industri Indonesia (KBLI),” papar Luthfyana.
Sejauh ini baru terdapat 15 sub-sektor atau kegiatan usaha yang berkategori hijau. Kemudian 422 sub-sektor berlabel kuning yang artinya perlu pemenuhan prasyarat untuk mendapatkan pembiayaan. Serta 482 berlabel merah, yaitu kegiatan yang merusak lingkungan, artinya lebih dari 50 persen sub-sektor dinilai tidak selaras dengan tujuan iklim dan transisi energi Indonesia menuju net-zero.
Baca Juga: IPCC: Krisis Iklim Memakan Korban Jiwa, Perbankan Harus Hentikan Pendanaan Batu Bara
Discussion about this post