Wanaloka.com – Jaringan organisasi masyarakat sipil di Indonesia menolak inisiatif Asia Zero Emission Community (AZEC) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-28 ASEAN – Jepang yang digelar di Kuala Lumpur Convention Centre (KLCC), Malaysia, pada 26 Oktober 2025, karena justru memperpanjang ketergantungan pada energi fosil. Sebab solusi palsu itu membahayakan lingkungan, mengancam keselamatan komunitas, dan berisiko menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia.
Jaringan masyarakat sipil juga mendesak pemerintah Jepang dan Indonesia berkomitmen pada transisi energi yang cepat, adil, dan merata. Transisi tersebut harus menjamin partisipasi yang bermakna dari masyarakat lokal dan kelompok masyarakat sipil sebagai bagian dari proses demokratis yang berpihak pada keadilan iklim.
Sejak awal, jaringan organisasi masyarakat sipil di Indonesia telah menyuarakan keprihatinan mendalam terhadap inisiatif AZEC yang dipimpin Jepang melalui Strategi Green Transformation (GX), di mana rencana sebagian besar proyeknya akan dijalankan di Indonesia. Pada 20 Agustus 2024, bertepatan dengan Pertemuan Tingkat Menteri AZEC ke-2 di Jakarta, sebanyak 41 organisasi masyarakat sipil menyampaikan petisi yang menolak arah dan isi inisiatif tersebut.
Jaringan organisasi masyarakat sipil di Indonesia menyoroti pelaksanaan AZEC telah melanggar prinsip-prinsip demokrasi karena minimnya transparansi dan keterbukaan informasi, serta tiadanya partisipasi bermakna dari masyarakat lokal maupun kelompok masyarakat sipil.
Baca juga: Ubi Kayu Berpotensi Jadi Pengganti Tepung Terigu Impor
AZEC justru mendorong penggunaan teknologi yang memperpanjang ketergantungan pada energi fosil. Tidak akan menyelesaikan krisis iklim, malah memperburuk penderitaan masyarakat terdampak.
Selain itu, AZEC mempromosikan solusi palsu yang berisiko tinggi terhadap keselamatan lingkungan dan komunitas, serta menyebabkan pelanggaran HAM. Lebih jauh lagi, AZEC mendukung proyek-proyek yang berpotensi mendorong perampasan lahan dan ruang laut, serta mempercepat deforestasi di berbagai wilayah Indonesia.
Di tengah ketidakpastian ekonomi, inisiatif AZEC juga bisa meningkatkan risiko kegagalan utang (debt distress) yang akan membebani negara dan generasi mendatang.
Kritik masyarakat sipil
Manajer Kampanye isu Infrastruktur dan Tata Ruang Walhi, Dwi Sawung menyebut AZEC bukan solusi transisi energi yang adil, melainkan bentuk baru kolonialisme energi yang mengabaikan hak-hak masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.
Baca juga: Kayu Laminasi, Solusi Keterbatasan Kayu Solid Akibat Alih Fungsi Hutan
“Kami menolak AZEC karena menyamarkan kepentingan korporasi dan negara industri sebagai upaya dekarbonisasi. Padahal yang terjadi greenwashing yang sistemik. Transisi energi harus berangkat dari kebutuhan dan hak masyarakat, bukan dari skema investasi yang mengekalkan ketimpangan dan kerusakan ekologis” terang Sawung.
Peneliti Lingkungan dari AEER, Riski Saputra menegaskan, jika AZEC benar-benar serius mendukung agenda transisi energi di Indonesia, maka fokus pengembangan proyek harus diarahkan pada sistem yang lebih berkelanjutan, seperti smart grid dan pengembangan sumber-sumber energi bersih, seperti surya dan angin.
“AZEC juga seharusnya mendukung pensiun dini PLTU, bukan malah memperpanjangnya dengan solusi palsu seperti co-firing dan CCS/CCUS yang justru memperburuk keadaan,” jelas Riski.
Juru Kampanye Jatam, Al Farhat Kasman menyampaikan kritik tajam terhadap peran AZEC dalam lanskap energi Indonesia.
Baca juga: Reza Cordova, Cemaran Mikroplastik Terindikasi dalam Udara di 18 Kota Pesisir di Indonesia
“AZEC tidak hadir sebagai solusi atas krisis yang sedang terjadi. Dia hadir justru sebagai wajah baru kolonialisme ekstraktif,” tegas dia.
Investasi yang dibawa AZEC atas nama rendah karbon menyimpan berbagai konsekuensi yang merugikan masyarakat dan lingkungan. Menanam investasi atas nama rendah karbon yang di dalamnya tersembunyi jebakan utang, kerusakan lingkungan akibat masifnya ekstraksi sumber daya seperti geothermal dan komoditas mineral kritis lainnya, melahirkan penderitaan dan memperpanjang tunggakan utang sosial-ekologis yang harus dirasakan oleh warga di tapak-tapak operasinya.
“Kesepakatan yang dibuat pemerintah Indonesia di bawah AZEC adalah wujud nyata, negara hanya berpihak kepada para pemodal,” tegas Farhat.
Direktur Advokasi Tambang CELIOS, Wishnu Utomo menilai pendekatan AZEC dalam memitigasi krisis iklim keliru dan berpotensi memperburuk keadaan.
Baca juga: Walhi Pastikan Target Iklim Second NDC Indonesia Semu, Gagal Menjawab Keadilan Iklim
“AZEC menggunakan pendekatan yang salah dalam memitigasi krisis iklim. Terbukti banyak proyek solusi palsu yang berbahaya bagi lingkungan hidup dan sosial yang mereka danai,” tegas Wishnu.
 
			





 
                                    
Discussion about this post