“Kami bangga memulai kemitraan baru untuk mendukung hasil mengesankan dan rencana ambisius pemerintah Indonesia,” imbuh Barth Eide.
Kerja sama baru tersebut dinilai Barth Eide untuk memperkuat perjuangan melawan perubahan iklim serta mengurangi emisi dari sektor hutan dan penggunaan lahan lainnya. Kerja sama internasional sangat penting untuk melestarikan ekosistem alami yang tak tergantikan dan mencapai ambisi iklim global di bawah Perjanjian Paris.
Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi berharap agar komitmen kerja sama dua negara itu menjadi awal setelah kerjasama REDD+ pada 2010 tidak dapat dilanjutkan. Ia meminta agar MoU tersebut dapat mencerminkan pandangan bersama tentang pentingnya fondasi yang kuat berdasarkan kepercayaan, rasa hormat, dan kesetaraan.
Baca Juga: Sebelas Strategi Wujudkan FOLU Net Sink 2030 dan Kolaborasi Lima Kementerian
“Menteri Siti telah berbagi komitmen Indonesia dalam mencapai target NDC dalam Perjanjian Paris. Presiden Jokowi juga memiliki keterikatan pribadi pada isu iklim. Jadi kami percaya komitmen itu ada. Hari ini, kami telah menunjukkan bahwa kami serius tentang hal ini,” tutur Retno.
MoU tersebut dinilai akan memperkuat upaya restorasi lingkungan yang dilakukan Indonesia dengan tetap membangun prinsip-prinsip kelestarian lingkungan dan terus menerapkan prinsip-prinsip hijau. Antara lain, pertama, Indonesia telah mempertahankan tren penurunan deforestasi, terutama ditandai dalam dua periode terakhir, meskipun pandemi global sedang berlangsung. Laju deforestasi telah mencapai level terendah dalam 20 tahun terakhir. Penurunan deforestasi yang berkelanjutan mencerminkan upaya Indonesia menuju FoLU Net Sink 2030.
Kedua, penurunan kebakaran hutan dan lahan lebih dari 80 persen dibandingkan pada 2015. Ketiga, upaya rehabilitasi lahan gambut. Keempat, moratorium permanen terhadap pemberian izin baru di hutan primer dan lahan gambut.
Baca Juga: Jokowi Tak Singgung Pemulihan Lingkungan dalam 5 Agenda Nasional, Walhi: Tanah Air Punya Siapa?
Kelima, penanaman kembali melalui skema rehabilitasi hutan dan lahan. Keenam, penanaman kembali dan rehabilitasi mangrove secara bertahap. Ketujuh, perhutanan sosial. Kedelapan, pengakuan resmi hutan adat sejak akhir 2016 oleh Presiden Joko Widodo. Kesembilan, penetapan UU Cipta Kerja yang juga menegaskan dukungan kepada masyarakat adat.
Kesepuluh, memperbaiki kawasan hutan dengan vegetasi lebat dan nilai lingkungan tinggi, atau hutan bernilai konservasi tinggi di berbagai area konsesi hutan dan kelapa sawit. Kesebelas, penataan koridor satwa melalui pembangunan fly over dan underpass. Keduabelas, penataan habitat satwa liar yang terfragmentasi akibat izin konsesi yang lalu. Ketigabelas, penegakan hukum yang lebih sistematis dan intensif.
Baca Juga: AS Nilai RI Mitra Strategis Atasi Perubahan Iklim, Ini Klaim Alasannya
Sejauh ini, berbagai skema kemitraan juga telah dilakukan, seperti membangun pembibitan skala besar yang melibatkan kerja sama pemerintah, swasta dan masyarakat. Produksi dan distribusi bibit dengan mekanisme kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat, yang bermanfaat membangun kesadaran bersama untuk mengelola lingkungan dengan baik. Indonesia berencana membangun 30 unit pembibitan skala besar ber kapasitas 10-12 juta bibit pohon per tahun.
Produksi bibit sedang berlangsung di Rumpin, Bogor. Enam unit lainnya sedang dalam tahap penyelesaian, seperti di Toba, Likupang, Labuan Bajo, Mentawir, Mandalika, dan Bali. Lima unit lagi masih dalam proses pembangunan, dan sudah ada kerja sama dan persiapan kerja sama yaitu di Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Tengah. [WLC02]
Sumber: ppid.menlhk.go.id
Discussion about this post