Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan pentingnya sinergi antara pengurangan sampah di hulu melalui partisipasi masyarakat dan pengolahan di hilir dengan teknologi WtE.
“Partisipasi masyarakat tetap kunci. Namun di kota-kota besar dengan timbulan sampah tinggi, pendekatan berbasis teknologi seperti Waste to Energy menjadi satu-satunya jalan keluar yang realistis. Dengan dukungan pemerintah pusat, daerah, dan sektor swasta, saya yakin program ini bisa sukses,” ujar Tito.
PSN didanai Danantara
Pihak Kementerian ESDM tengah menyiapkan regulasi untuk mempercepat pemanfaatan sumber energi terbarukan. Termasuk pengembangan teknologi Waste-to-Energy (WtE) atau Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Untuk percepatan pengembangan EBTKE, mereka sedang menata regulasinya mulai dari tingkat undang-undang sampai level peraturan pemerintah.
Baca juga: Kawasan Industri Modern Cikande Ditetapkan Menjadi Daerah Tercemar Radiasi Cesium-137
“Ada beberapa peraturan Menteri ESDM yang kami terbitkan. Ujung-ujungnya adalah bagaimana pengembangan energi baru-terbarukan ini bisa diimplementasikan,” jelas Yuliot.
Pengelolaan sampah menjadi sumber energi diharapkan tidak hanya menyelesaikan persoalan limbah kota, tetapi juga menciptakan solusi penyediaan energi yang ramah lingkungan.
Untuk mengakselerasi program ini, Pemerintah melalu Danantara Indonesia akan memilah daerah yang menjadi prioritas pembangunan PSEL yang dilaksanakan Danantara. Serta daerah lain yang dapat didanai melalui kerja sama dengan investor potensial, maupun investasi murni.
CEO BPI Danantara, Rosan Roeslani menyampaikan proyek WtE akan menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN).
Baca juga: Penderita Pikun Bertambah, Belum Ada Obatnya Tapi Ada Pencegahannya
“Program ini bukan hanya solusi jangka panjang untuk mengatasi sampah, tetapi juga langkah konkret menuju transisi energi bersih dan pencapaian Net Zero Emission 2060,” jelas Rosan.
Saat ini, tantangan utama yang harus dihadapi adalah pendanaan. Untuk membangun sistem pengelolaan sampah berbasis WtE dibutuhkan investasi sekitar Rp300 triliun.
“Ini bukan angka kecil. Indonesia saja membutuhkan pendanaan iklim Rp4.700 triliun hingga 2030, sementara yang terealisasikan hanya sekitar Rp76 triliun per tahun. Artinya, ada funding gap yang besar, termasuk dalam sektor pengelolaan sampah,” papar dia.
“Kami menghimbau agar pemerintah daerah mengalokasikan setidaknya 3 persen dari APBD untuk pengelolaan lingkungan. Tanpa komitmen ini, pembangunan WtE akan sulit berjalan,” tambah Diaz.
Baca juga: Porang, Pangan Lokal Alternatif untuk Kemandirian Desa
Rakornas kali ini juga membawa terobosan baru dalam skema pembiayaan. Jika sebelumnya pemerintah daerah terbebani kewajiban membayar tipping fee, kini biaya tersebut akan ditanggung PLN dengan dukungan subsidi dari pemerintah pusat. Model ini diharapkan dapat mengurangi beban keuangan daerah sehingga mereka dapat fokus pada pengumpulan dan pengangkutan sampah.
Melalui Rakornas ini, pemerintah pusat, daerah, dan sektor swasta membangun komitmen nasional untuk mempercepat implementasi teknologi Waste to Energy di seluruh Indonesia. Langkah ini bukan hanya menjawab darurat sampah nasional, tetapi juga menjadi bagian penting dari transisi menuju ekonomi hijau, penguatan ketahanan energi, serta pencapaian Indonesia Emas 2045 dan target Net Zero Emission 2060. [WLC02]
Sumber: Kementerian ESDM, KLH/BPLH, DPR







Discussion about this post