Kepala Asosiasi Pengusaha Pasir Laut (APPL) Herry Tousa menyatakan permintaan datang dari Singapura China, dan Hong Kong untuk perluasan bandara, serta Makau tengah membangun pelabuhan. Tentulah terhubung ke kebijakan pertambangan dan ekspor pasir laut yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia.
Artinya, dalam kebijakan ini tak ada kepentingan masyarakat pesisir. Ia menyebut nilai setoran Rp16,8 juta dimungkinkan akan diturunkan menjadi Rp12 juta per hektare masih tinggi mengingat kondisi pemilik tambang kini sedang dalam kondisi mati suri.
Pernyataan penolakan nelayan dan Walhi
Perempuan nelayan dari Pulau Kodingareng, Sarinah: “Pertambangan pasir laut ini sangat merugikan perekonomian masyarakat Kodingareng. Abrasi yang menghantam pulau sangat terasa sejak penambangan pasir dilakukan pada 2020 lalu. Ikan di laut kami sudah tidak ada lagi. Lebih dari 50 persen nelayan sulit mendapatkan pemasukan. Padahal jauh sebelumnya, kehidupan kami sangat sejahtera sebelum adanya tambang pasir laut”.
Baca Juga: Polistirena, Jenis Plastik yang Umum Dipakai Sekaligus Cemari Air dan Tanah
Perempuan nelayan Surabaya-Ketua KPPI (Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia) Surabaya, Jihan: “Berbagai upaya telah kami lakukan untuk menolak dan menghentikan aktivitas pertambangan pasir laut, mulai dari membuat aksi di laut, demo dengan cara membacakan sholawat burdah oleh perempuan pesisir dan anak-anak, hingga hearing ke DPRD Jawa Timur. Bahkan ada beberapa warga yang dikriminalisasi. Dampak dari penambangan pasir laut, meskipun telah lama terjadi, masih terus kami rasakan sampai saat ini. Untuk konsumsi ikan saja sudah sangat sulit kalau tidak membeli. Sebelumnya, kita bisa mendapatkannya secara langsung karena pendapatan dari laut yang sangat mudah”.
Direktur Eksekutif Daerah (ED) Walhi Sulawesi Selatan, Muhammad Al-Amin: “Kebijakan Pemerintah untuk rencana ekspor pasir laut melalui PP Nomor 26 tahun 2023 dan Permendag Nomor 20 Tahun 2024 mengenai pengelolaan hasil sedimentasi di laut merupakan keputusan sangat buruk dan hanya akan menimbulkan kerugian sangat besar bagi masyarakat pesisir. Pemerintah tidak selektif dan tidak memiliki dimensi keadilan dalam membuat kebijakan”
Direktur ED Walhi Kepulauan Bangka Belitung, Ahmad Subhan Hafiz: “Pasir laut yang berada di dasar perairan Kepulauan Bangka Belitung diduga mengandung timah dan rare earth. Dengan kata lain, PP Nomor 26 Tahun 2023 serta Permendag Nomor 20 Tahun 2024 merupakan kebijakan yang mencelakakan. Selain mengakibatkan kerusakan lingkungan dan sosial, praktik penambangan pasir laut justru membuat negara terancam bangkrut. Perlu diperiksa, ada kepentingan apa di dalam kebijakan ekspor pasir laut ini? Jika ekspor pasir laut ini tak dihentikan, maka akan memperparah kerugian negara akibat korupsi di sektor sumber daya alam”.
Baca Juga: Hari Ozon Sedunia 2024, Pemerintah Klaim Turunkan HCFC 55 Persen Tahun 2023
Manajer Advokasi dan Kampanye ED Walhi Lampung, Edi Santoso: “Pertambangan dan ekspor pasir laut ini bukan kebutuhan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Mereka menolak kebijakan ini karena akan menghancurkan ekonomi mereka yang berasal dari laut. Di Lampung terdapat banyak wilayah gosong atau beting atau pulau kecil yang menjadi bagian penting dari ekosistem laut. Jika gosong ini dikeruk dan diekspor, maka kita akan mengalami kehancuran masa depan”.
Direktur ED Walhi Jawa Timur, Wahyu Eka Setiawan: “Penggunaan istilah sedimentasi yang disampaikan pemerintah merupakan bentuk greenwashing dan atau ocean grabbing. Pertambangan pasir laut telah dan akan mengancam kedaulatan pangan laut yang selama ini menyuplai protein hewani dari ikan kepada masyarakat”.
Direktur ED Walhi Bali, I Made Krisna Dinata: “Pertambangan pasir laut di Bali sedang dan akan mengancam masa depan Pulau Bali, baik daratan maupun lautannya”.
Baca Juga: Melihat Jejak Pembentukan Pulau Jawa di Karangsambung Kebumen
Direktur ED Walhi Maluku Utara, Faisal Ratuela: “Pertambangan pasir laut akan menghancurkan pulau-pulau kecil di Maluku Utara. Lebih jauh, profesi nelayan yang ciri masyarakat kepulauan di Maluku Utara, khususnya di Kabupaten Morotai sangat terancam”.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eknas Walhi, Parid Ridwanuddin: “Pembukaan kembali kebijakan ekspor pasir laut adalah langkah yang bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 33. Kebijakan ini membuktikan Pemerintah lemah di hadapan korporasi. Pada saat yang sama, Pemerintah menjual kedaulatan negara dengan harga yang sangat murah”. [WLC02]
Sumber: Walhi
Discussion about this post