Wanaloka.com – Masyarakat pesisir bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyampaikan penolakan dan perlawanan terhadap pertambangan dan ekspor pasir laut yang dilegalkan Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang Yang Dilarang Untuk Diekspor. Penolakan disampaikan dalam konferensi pers pada 19 September 2024.
Mereka menegaskan, kebijakan pertambangan dan ekspor pasir laut adalah kemunduran sangat serius dalam tata kelola sumber daya kelautan Indonesia sejak 20 tahun lalu. Kebijakan ini akan mendorong bom waktu, tepatnya kiamat sosial ekologis di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Dampaknya, banyak nelayan semakin miskin di kantong-kantong pertambangan pasir laut.
Alasan penolakan penambangan dan ekspor pasir laut
Pertambangan pasir laut tidak memberikan keuntungan sedikit pun kepada masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Di Pulau Kodingareng, nelayan kehilangan ekonomi sebesar Rp80.415.300.000 akibat pertambangan pasir laut yang dilakukan Perusahaan Belanda, PT Boskalis selama 257 hari.
Baca Juga: Daerah Rentan Likuefaksi di Indonesia Punya Tingkat Kepadatan Penduduk Tinggi
Banyak nelayan telah meninggalkan Pulau Kodingareng untuk mencari pekerjaan baru karena beban ekonomi sangat besar akibat kerusakan laut yang disebabkan pertambangan pasir laut. Tak sedikit keluarga di sana memiliki utang sangat besar dan terpaksa menikahkan anaknya karena kesulitan ekonomi.
Di Bangka Belitung, pertambangan pasir laut telah dilakukan sejak tahun 2001. Sebanyak 300 ribu-500 ribu ton pasir laut diekspor untuk kepentingan Singapura. Dua dekade selanjutnya, kehancuran terus terjadi di kepulauan itu. Berdasarkan analisis citra tahun 2017, terumbu karang yang sebelumnya seluas 82.259,84 hektare, hanya tersisa sekitar 12.474,54 hektare. Artinya, sekitar 5.720,31 hektare terumbu karang mati. Selama 20 tahun terakhir juga, hutan mangrove seluas 240.467,98 hektare di sana mengalami kerusakan.
Dari perspektif isu korupsi, pertambangan pasir laut ini hanya akan membuka peluang baru untuk lahan korupsi, setelah sebelumnya mega korupsi yang terjadi di sektor pertambangan timah.
Baca Juga: Sarwidi, Ini Langkah Nasional ke Depan Mensikapi Indonesia Rawan Gempa Bumi
Telah terjadi banyak konflik, di mana 3.000-4.000 orang masyarakat adat terancam wilayah tangkapnya. Aktivitas pertambangan pasir juga sudah memakan korban jiwa. Penambang di laut tewas karena kecelakaan tambang.
Di Lampung, pertambangan pasir laut akan mengancam ekonomi kelautan yang dihasilkan dari penangkapan dan pengolahan rajungan. Lampung adalah provinsi penghasil kepiting rajungan terbesar ketiga di Indonesia yang berkontribusi sekitar 10-12 persen dari ekspor Indonesia. Kehidupan perekonomian 4.000 orang nelayan penangkap rajungan dan 2.000 orang bekerja di sektor pengolahan rajungan pun terancam.
Di Jawa Timur, pertambangan pasir laut sudah lama terjadi sejak tahun 1996. Dampaknya telah menurunkan jumlah nelayan secara signifikan. Tak hanya itu, pertambangan pasir laut telah menyebabkan masyarakat kesulitan mendapatkan ikan laut. Dengan kata lain, pertambangan pasir laut telah memicu krisis ketersediaan ikan. Ini merupakan krisis pangan yang terjadi.
Baca Juga: Satu Tahun Tolak PSN Rempang Eco City, Warga Rempang Kembali Diintimidasi
Di Lombok Timur, NTB, meski pertambangan pasir laut untuk reklamasi Teluk Benoa telah dihentikan, tetapi dampaknya sangat panjang. Nelayan harus melaut ke perairan Sumba. Mereka juga bertaruh nyawa karena harus berlama-lama di tengah laut lepas.
Pertambangan pasir laut di Bali telah menyebabkan abrasi besar-besaran di wilayah pantai yang ada di Bali. Terlebih berbagai penelitian menyebut Bali merupakan pulau yang mengalami penyusutan atau kemunduran garis pantai paling cepat. Banyak wilayah pesisir yang menjadi rumah mangrove dan terumbu karang terancam hancur.
Di Maluku Utara, pertambangan pasir laut, khususnya pasir besi di Kabupaten Morotai mengancam kelestarian pesisir, laut, dan pulau kecil di pulau yang berhadapan dengan Samudera Pasifik.
Baca Juga: Gempa Dangkal Sesar Garsela M 5.0 Guncang Kabupaten Bandung dan Garut
Discussion about this post