Wanaloka.com – Dalam kunjungan perdana sebagai Presiden ke Cina, Prabowo Subiyanto dan Presiden Xi Jinping melakukan penandatanganan sejumlah nota kesepahaman pada 9 November 2024. Meliputi pengembangan bersama di sektor perikanan, minyak, dan gas di wilayah maritim yang merupakan klaim tumpang tindih antara kedua negara.
Selain itu, terdapat kesepakatan mengenai keselamatan maritim serta pendalaman kerja sama di bidang ekonomi biru, sumber daya air dan mineral, serta mineral hijau. Pertemuan kedua presiden itu sekaligus menandai dimulainya hubungan mitra strategis dengan Cina yang lebih jelas dan eksplisit.
“Tapi langkah ini adalah kebijakan yang keliru dan berisiko serius bagi Indonesia,” kata Founder Bara Maritim & Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute, Merisa Dwi Juanita dalam siaran tertulis tertanggal 10 November 2024.
Baca Juga: Gunung Lewotobi Laki-Laki Erupsi 11 Kali Sehari, Radius Zona Aman Diperluas 9 Km
Ia pun memaparkan sejumlah alasan.
Pertama, penolakan klaim sepihak Cina.
Indonesia tidak pernah mengakui klaim sepihak Cina atas peta 10 Garis Putus-putus (ten dash line) di Laut Cina Selatan yang diterbitkan pada 28 Agustus 2023 oleh Kementerian Sumber Daya Alam Cina. Klaim ini mencakup wilayah luas di Laut Cina Selatan, termasuk pulau, terumbu karang, dan zona maritim negara lain, serta mencaplok wilayah perairan Indonesia yang sah di sekitar Pulau Natuna.
Kedua, kepatuhan terhadap UNCLOS 1982.
Baca Juga: Surat Komunitas Vegan untuk Prabowo, Percepat Upaya Atasi Pemanasan Global
Indonesia dan Cina adalah negara yang telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Klaim ruang laut Indonesia saat ini sepenuhnya didasarkan pada ketentuan UNCLOS 1982. Wilayah Tiongkok jauh melampaui 200 nm Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan 350 nm landas kontinen sehingga jelas tidak ada tumpang tindih klaim wilayah.
“Jadi memulai kerja sama di wilayah yang menjadi klaim tumpang tindih, tidak memiliki dasar kuat,” kata Merisa.
Terutama mengingat protes terhadap klaim Cina yang konsisten dilakukan sejak tahun 1995 oleh Menlu Ali Alatas hingga Menlu Retno Marsudi pada periode 2019-2024. Pernyataan bersama terkait klaim tumpang tindih di wilayah maritim kedua negara merupakan inkonsistensi yang serius.
Baca Juga: Suadi, Kebijakan Hilirisasi Perikanan Perlu Perhatikan Kesejahteraan Nelayan
Ketiga, putusan arbitrase internasional 2016
Klaim Cina melalui ten dash line (sebelumnya nine dash line) telah terbantahkan oleh Arbitrase Internasional pada tahun 2016 sehingga tidak memiliki basis hukum yang sah. Penandatanganan nota kesepahaman oleh Prabowo dianggap sebagai tindakan yang mengakui klaim Cina, padahal secara hukum internasional klaim tersebut tidak valid.
Keempat, pelanggaran oleh nelayan dan Coast Guard Cina.
Nelayan Cina bersama dengan penjaga pantainya, telah berulang kali melakukan penangkapan ikan ilegal (IUU Fishing) dan melanggar ZEE di Laut Natuna Utara secara agresif. Tindakan ini menyebabkan krisis berkepanjangan yang merugikan Indonesia, baik secara ekonomi maupun keselamatan para nelayan yang terlibat langsung.
Baca Juga: Gunung Lewotobi Laki-laki Erupsi hingga Setinggi 4 Kilometer
Lima pertanyaan pakar Hukum Internasional
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana juga mempertanyakan Joint Statement (pernyataan bersama) yang dikeluarkan kedua presiden itu. Dalam butir 9 dengan judul “The two sides will jointly create more bright spots in maritime cooperation” disebutkan bahwa “The two sides reached important common understanding on joint development in areas of overlapping claims“.
Pertama, apakah overlapping claims ini terkait klaim sepuluh garis putus (ten dash line) oleh China yang tumpang tindih dengan klaim ZEE Indonesia di Natuna Utara?
“Apabila benar, berarti kebijakan Indonesia terkait klaim sepihak Cina atas 10 Garis Putus telah berubah secara drastis dan merupakan perubahan yang sangat fundamental dan berdampak pada geopolitik di kawasan,” kata Hikmahanto.
Baca Juga: Gunung Lewotobi Laki-laki Erupsi Lagi, BNPB Desak Percepatan Relokasi
Sementara hingga berakhirnya pemerintahan Joko Widodo, Indonesia memilki kebijakan untuk tidak mengakui klaim sepihak Sepuluh (dahulu sembilan) Garis Putus dari Cina. Sebab klaim itu tidak dikenal dalam UNCLOS dimana Indonesia dan Cina adalah negara peserta.
“Terlebih lagi Permanent Court of Arbitration pada 2016 telah menegaskan klaim sepihak Cina tersebut memang tidak dikenal dalam UNCLOS,” tegas dia.
Kedua, adanya joint statement itu berarti Indonesia telah mengakui klaim sepihak Cina atas Sepuluh Garis Putus. Perlu dipahami, joint development hanya terjadi apabila tiap-tiap negara saling mengakui adanya zona maritim yang saling tumpang tindih.
Discussion about this post