Wanaloka.com – Pulau Komodo di Nusa Tenggara Timur adalah rumah bagi reptil purba terbesar yang masih hidup hingga saat ini, Varanus komodoensis. Sayangnya, satwa endemik Indonesia ini telah berstatus endangered menurut IUCN sejak 2021 dan masuk pada Appendix I CITES, yakni hewan dilindungi yang populasinya terancam punah.
Jumlahnya diperkirakan hanya sekitar 3.300 ekor di dunia. Keberadaan komodo perlu perhatian serius, baik dari peneliti, pemerintah, masyarakat, juga generasi muda yang akan mewarisi tanggung jawab menjaga eksistensi satwa liar ini.
Mahasiswa jenjang doktoral Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Aji Winarso yang tengah meneliti hewan ini mengatakan ancaman terhadap komodo datang dari berbagai faktor. Selain aktivitas manusia yang mengancam, beberapa faktor ancaman lain juga meliputi kerusakan habitat, fragmentasi, inbreeding atau kawin sedarah, kompetisi pakan dengan manusia, perubahan iklim, perdagangan ilegal, hingga penyakit zoonotik menjadi masalah yang saling berkaitan.
Baca juga: Kisah Kampus yang Kaya Habitat Satwa Liar dan Melestarikan Pohon 106 Tahun
“Konservasi yang baik justru sebisa mungkin meminimalisir kontak antara satwa liar dengan manusia. Kenapa disebut satwa liar? Karena harus dilepasliarkan,” ujar dia, Jumat, 19 September 2025.
Guru Besar Parasitologi sekaligus pengamat satwa liar Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Prof. Raden Wisnu Nurcahyo yang pernah meneliti soal penyakit parasit pada Komodo menambahkan, penyakit parasit, cacingan, hingga infeksi dari manusia bisa mempengaruhi populasi komodo.
“Publikasi tentang satwa langka sangat diminati di jurnal internasional, tetapi di Indonesia riset seperti ini masih sedikit mendapat perhatian, terutama karena minimnya pendanaan,” kata dia.
Baca juga: Hasil Penelitian AI dan Citra Satelit, Luas Tutupan Lahan Mangrove di Pesisir Semarang Menurun
Ia menyinggung konsep one health one welfare yang seharusnya menjadi kunci dalam upaya menjaga pelestarian komodo. Menurun dia, memperkuat kesehatan manusia, satwa, dan lingkungan menjadi kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Namun eksploitasi alam untuk pariwisata berlebihan, jejak sampah plastik, hingga potensi penularan penyakit dari manusia ke hewan bisa mengganggu keseimbangan ekosistem. Sebab, jika lingkungan tercemar, maka mangsa komodo seperti rusa atau kerbau pun terancam, dan berdampak pada rantai hidup komodo yang terganggu.
“Kalau manusia mau sehat, komodo juga harus sehat, lingkungannya pun harus sehat,” tegas Wisnu.
Baca juga: Dua Pekerja Freeport yang Terjebak Longsor Ditemukan Tewas, Pakar Sampaikan Tantangan Evakuasi
Aji menyampaikan konservasi tidak bisa dipisahkan dari masyarakat lokal. Ia menyebutkan tentang etno-konservasi di Pulau Komodo yang memandang komodo sebagai “saudara sepupu” manusia. Tidak ada pilihan selain ikut menjaganya meski seringkali komodo memburu ternak masyarakat.
Etno-konservasi bisa menjadi prinsip untuk mencegah perilaku ekstraktif manusia yang memanfaatkan alam sebagai mata pencaharian. “Selain itu, edukasi dan pemberdayaan pun menjadi strategi penting agar konservasi bisa selaras dengan kesejahteraan manusia,” ujar dia.
Meski demikian, tantangan terbesar juga ada pada perhatian generasi muda. Wisnu mengingatkan bahwa komodo adalah simbol kebanggaan Indonesia yang otentik, seperti harimau, gajah, orang utan, serta berbagai satwa endemik lainnya.
Baca juga: Sambut Hari Tani, Jampiklim Serukan Penertiban Pertambangan di Wilayah DIY
Apabila populasinya dibiarkan terus berkurang, tidak menutup kemungkinan komodo berakhir sama seperti dinosaurus, sebatas terekam pada buku sejarah yang tidak terurus. Perlu riset, kebijakan, hingga kampanye yang lebih intensif untuk menyorot eksistensi komodo sebagai satwa endemik Indonesia, terlepas dari keuntungan yang bisa didapatkan.
“Konservasi komodo bukan sekedar penyelamatan satu spesies langka, tetapi juga upaya menjaga keseimbangan ekosistem, kesehatan manusia, dan identitas bangsa. Di tangan generasi sekarang dan yang akan datang, masa depan “naga purba” Indonesia ini dipertaruhkan,” kata dia.
Pembangunan resort dan mess di TN Komodo
Sementara Kementerian Kehutanan memberi lampu hijau rencana pembangunan sarana dan prasarana wisata alam oleh PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE) di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo. Meskipun rencana itu mendapat protes keras dari banyak pihak mengingat Komodo sebagai satwa endemik dan Pulau Padar merupakan bagian dari Warisan Dunia UNESCO.
Baca juga: Gempa Dangkal M6,5 di Nabire Dipicu Sesar Anjak Weyland
Kemenhut mengklaim seluruh kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi di Taman Nasional Komodo tersebut harus berjalan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dengan mengedepankan prinsip perlindungan satwa dan ekosistem.
Pembangunan resort PT KWE
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerjasama Luar Negeri, Kementerian Kehutanan, Krisdianto memaparkan, PT KWE merupakan pemegang Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA/PB-PSWA) berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK.796/Menhut-II/2014 tanggal 23 September 2014 seluas 426,07 ha di Pulau Komodo dan Pulau Padar. Di Pulau Padar, rencana pengembangan terbatas pada ±15,37 ha atau sekitar 5,6% dari total 274,13 ha konsesi. Pengembangan sarpras dibagi dalam 7 blok dan akan dilakukan dalam 5 tahapan pembangunan.
Pembangunan pondasi (sekitar 148 tiang) di Pulau Padar dilakukan PT KWE pada akhir 2020 – awal 2021. Namun pembangunan tersebut dilakukan sebelum adanya arahan penyusunan dokumen Environmental Impact Assessment (EIA). Setelah arahan resmi disampaikan oleh Dirjen KSDAE pada Juni 2022, pembangunan dihentikan dan tidak dilanjutkan hingga proses penyusunan EIA selesai.







Discussion about this post