Lebih lanjut, Irfan menyoroti pentingnya penguatan identitas lokal dalam mendukung pengakuan internasional. Ia mendorong langkah-langkah konkret seperti menghadirkan replika Yupa di pusat kota, memperkuat lanskap budaya, dan menghidupkan kembali narasi Kutai Kuno melalui tradisi lokal seperti Erau.
Baca juga: MK Tolak Uji Formil UU KSDAHE, Dissenting Opinion Dua Hakim Sebut Ada Pelanggaran
“Yupa adalah aset pengetahuan dan kebanggaan nasional yang tetap relevan hingga masa kini,” tegas dia.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua IAAI Komda Jabodetabek, Berthold DH Sinaulan menjelaskan bahwa Yupa bukan hanya prasasti pertama di Indonesia, tetapi juga bukti transisi dari masa prasejarah ke sejarah. Ia mendukung penuh pengajuan Yupa ke UNESCO, seraya menekankan pentingnya penelitian bahasa Melayu kuno sebagai akar bahasa Indonesia modern.
Menyingkap awal sejarah prasasti Yupa
Prasasti bukan sekadar peninggalan arkeologis, tetapi merupakan sumber penting dalam menyingkap sejarah dan identitas budaya Nusantara. Peneliti Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah (PR APS) BRIN, Titi Surti Nastiti memaparkan secara rinci isi dan makna dari tujuh prasasti Yupa yang dikeluarkan oleh Raja Mulawarman pada abad ke-4 Masehi di Muara Kaman, Kutai Kartanegara.
Baca juga: Juli Puncak Kemarau di Riau, Potensi Karhutla Meningkat hingga Awal Agustus
Disebutnya, prasasti-prasasti yang ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta ini tidak hanya mencatat silsilah tiga generasi keluarga kerajaan, yaitu Kundungga, Aswawarman, dan Mulawarman. Melainkan juga menggambarkan kehidupan politik, spiritual, dan ekonomi pada masa itu.
Salah satu prasasti menyebutkan persembahan emas dan 20.000 ekor sapi untuk para Brahmana. Menurut dia, itu bukan sekadar simbol kemewahan melainkan ukuran kemakmuran dan legitimasi kekuasaan raja dalam pandangan masyarakat Weda.
“Yupa adalah tonggak penting dimulainya sejarah tertulis di Nusantara, sekaligus bukti kuat adanya interaksi budaya dan diplomasi dengan peradaban India. Ini terlihat dari penggunaan bahasa Sanskerta dan ritual keagamaan yang terekam dalam prasasti,” papar dia.
Baca juga: Lahan Konservasi Gajah dari Prabowo, Pakar Ingatkan Kepastian Status Lahan dan Kesesuaian Habitat
Peneliti PR APS BRIN lainnya, Gunadi Kasnowihardjo melengkapi pembahasan dengan menyoroti konteks arkeologis situs Muara Kaman. Ia menjabarkan bahwa kawasan tersebut merupakan pusat aktivitas perdagangan dan perniagaan di Kalimantan Timur pada masa lalu. Itu berkat lokasinya yang strategis di pertemuan Sungai Mahakam dan Sungai Kedang Rantau.
Temuan arkeologis seperti keramik Tiongkok, manik-manik, serta struktur batu di Danau Lipan dan Tanjung Serai memperkuat dugaan bahwa Muara Kaman adalah pelabuhan sungai penting yang menghubungkan pedalaman Kalimantan dengan jalur perdagangan internasional.
Sementara Peneliti PR APS BRIN lainnya, Churmatin Nasoichah menggeser fokus pembahasan ke wilayah barat Nusantara. Ia memaparkan hasil penelitian linguistik pada prasasti Hindu-Buddha Padang Lawas di Sumatera Utara yang berasal dari abad ke-11 hingga ke-14 Masehi.
Baca juga: Lebih Dua Dekade, Baleg dan Komisi XIII DPR Janji Sahkan RUU Masyarakat Adat
Ia menunjukkan bahwa prasasti-prasasti tersebut, meskipun menggunakan aksara Sumatera kuno, banyak mengandung kata-kata dari bahasa Melayu kuno yang merupakan turunan dari bahasa Proto-Austronesia.
“Melalui analisis morfem bebas dan morfem terikat, ditemukan jejak akulturasi antara bahasa lokal dengan pengaruh Sanskerta,” tutur dia.
Hal ini membuktikan bahwa nenek moyang Nusantara tidak hanya menerima pengaruh budaya India secara pasif. Namun mengadaptasinya sesuai dengan karakteristik lokal, kemudian menghasilkan warisan linguistik yang menjadi akar bahasa Melayu dan bahkan bahasa Indonesia modern.
Moderator seminar yang merupakan Direktur Indonesia Hidden Heritage Creative Hub, Nova Farida Lestari menilai penting komunikasi publik dalam pelestarian warisan budaya. Ia meyakini bahwa mengangkat kembali narasi sejarah melalui cara yang inovatif dapat memperkuat kesadaran budaya, sekaligus mendukung pengakuan internasional, seperti pengusulan Yupa sebagai Memory of the World UNESCO. [WLC02]
Sumber: BRIN
Discussion about this post