Direktur Hukum CELIOS, Muhammad Zakiul Fikri menilai yang dialami masyarakat adat ini sebagai bentuk perampasan tanah (land grabbing) yang dilakukan pemerintah bersama perusahaan. Padahal, tanah-tanah yang masuk dalam kluster PSN itu bukan lahan kosong tak bertuan (terra nullius), tetapi lahan yang dimiliki dan dikelola masyarakat adat secara turun-temurun.
Baca juga: Mahmud Aditya, Pangan Lokal Solusi Makan Siang Gratis 10 Ribuan Tapi Bergizi
Hingga saat ini, lebih dari 1 juta hektare area lahan maupun hutan di Papua Selatan terdata sebagai wilayah masyarakat adat. Padahal, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 mengakui, menghormati, dan menjamin keberlanjutan masyarakat adat beserta hak-hak atas tanah adatnya.
Perampasan ini juga merupakan bentuk pelanggaran hukum Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang secara tegas mengatur bahwa setiap orang berhak untuk memiliki hak milik dan tidak dapat diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun, termasuk oleh negara.
Kondisi ini menimbulkan paradoks. PSN diproyeksikan sebagai solusi pemerataan ekonomi, tetapi faktanya, masyarakat adat menolaknya.
Baca juga: Rumah Kaca Kantong Semar di Kebun Raya Cibodas Dibuka Lagi
“Penolakan ini tidak hanya menunjukkan lemahnya konsultasi yang bermakna dengan masyarakat adat, tetapi juga mengungkapkan persoalan serius terkait prinsip persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan atau FPI,” imbuh dia.
Sementara itu, Peneliti Hukum CELIOS, Muhamad Saleh menjelaskan kondisi tersebut terjadi akibat dominasi pemerintah pusat dalam pelaksanaan PSN. Dominasi itu tergambar dalam lembaga KPPIP yang menunjukkan pendekatan pembangunan secara terpusat, meminggirkan pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU Otsus Papua.
“Terdapat 133 peraturan sektoral di berbagai bidang yang ditetapkan pemerintah pusat untuk menjalankan ragam PSN di daerah. Dan 61,2 persen peraturan pelaksana UU Cipta Kerja digunakan untuk mendukung PSN di daerah,” ungkap Saleh.
Baca juga: Anggota Komisi III DPR Minta Aparat Jangan Jadi Beking Kekerasan di Rempang
Ia juga menjelaskan, melalui revisi UU Otsus Papua, Pemerintah Pusat menghapus kewenangan pembentukan Perdasus dan Perdasi dalam urusan pemerintahan. Padahal, kewenangan tersebut memungkinkan Pemerintah Daerah merumuskan kebijakan protektif untuk melindungi hak-hak masyarakat adat Papua. Dan ini mengabaikan spirit Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
“Kami dapat melihat bahwa pemekaran daerah melalui revisi UU Otsus Papua mempermudah praktik perampasan lahan masyarakat adat karena kekosongan hukum dalam pengaturan kawasan dan tata ruang yang disengaja,” kata dia.
Baca juga: Jelang Libur Nataru, Waspada Kawah Sileri Gunung Dieng Alami Erupsi Freatik
Dalam peluncuran dan media briefing tersebut hadir pula Presiden Institut Otonomi Daerah (i-OTDA), Prof. Djohermansyah Djohan. Sosok yang akrab disapa Prof. Djo itu menimpali, seharusnya pelaksanaan PSN di daerah yang berstatus Otsus pelaksanaannya menyesuaikan dengan kekhususan daerah tersebut.
“Kekhususan tersebut tidak boleh diamputasi oleh regulasi pusat. Kalau tidak, tata kelola ulayat berpotensi lebih menguntungkan pemerintah dan swasta ketimbang masyarakat adat. Kami lihat dalam praktik, meskipun UU Otsus Papua mengatur beberapa hal terkait perlindungan masyarakat adat, tetapi masih lemah dalam implementasi sehingga pengambilan paksa tanah adat oleh penguasa masih terjadi,” papar Djohermansyah Djohan. [WLC02]
Discussion about this post