Wanaloka.com – Proyek Strategis Nasional (PSN) Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke di Papua Selatan melalui Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 8 Tahun 2023 mengakibatkan persoalan serius. Alih-alih mendorong terwujudnya tata ruang dan pengelolaan sumber daya agraria yang berkeadilan, akselerasi PSN ke Merauke di Papua Selatan justru memperpanjang usia konflik agraria di wilayah tersebut.
Dalam peluncuran dan media briefing laporan desk hukum Center of Economic and Law Studies (CELIOS) yang bertajuk PSN Menggerus Otsus dan Hak Orang Asli Papua, Senin, 23 Desember 2024 memperlihatkan sejumlah masalah hukum, kelembagaan dan agraria terjadi.
Pemekaran daerah melalui revisi Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus Papua mempermudah praktik perampasan lahan masyarakat adat karena kekosongan hukum dalam pengaturan kawasan dan tata ruang yang disengaja. Temuan-temuan itu meliputi:
Baca juga: Bekas Longsor Ditemukan di TN Betung Kerihun Kalimantan Barat
Pertama, melalui revisi UU Otsus Papua (UU Nomor 2 Tahun 2021), Pemerintah Pusat menghapus kewenangan pembentukan Perdasus dan Perdasi dalam urusan pemerintahan, yang memungkinkan Pemerintah Daerah merumuskan kebijakan protektif.
Kedua, terdapat 133 peraturan sektoral di berbagai bidang yang ditetapkan pemerintah pusat untuk menjalankan ragam PSN di daerah.
Ketiga, Tanah Papua tak bertuan adalah mitos. Saat ini, lebih dari 1 juta hektare lahan dan hutan Papua Selatan merupakan wilayah adat. Artinya, Papua Selatan bukanlah tanah kosong tanpa pemilik (terra nullius).
Baca juga: Gempa Dangkal Goyang Selatan Sukabumi Jawa Barat
Keempat, rakus terhadap hutan dan lahan adat. Masyarakat adat tidak melepaskan tanah adat mereka, tetapi tetap kehilangan hutan dan lahan akibat ekstensifikasi PSN. Hal tersebut memicu praktek perampasan lahan (land grabbing) yang memperburuk ketimpangan penguasaan lahan.
Kelima, ketimpangan lahan yang meningkat. PSN mencadangkan hampir 50 persen dari total luas administratif Kabupaten Merauke untuk keperluan konsesi perusahaan.
Masyarakat adat tak dukung PSN
Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Pos Merauke, Johny Teddy Wakum mengungkapkan ada penolakan masyarakat adat di berbagai distrik, termasuk Ilwayab, Tubang, Okaba, Eligobel, Sota, Ngguti, Kaptel, Kimaam, dan Padua.
Baca juga: Penangkapan Ikan dengan Bom Masih Marak di Indonesia Timur
Bahkan, LBH Papua mencatat masyarakat adat, seperti Marga Moiwend, Gebze, Basik-Basik, dan lainnya, tidak pernah secara sukarela menyerahkan tanah mereka. Namun, proses alih fungsi lahan tetap berlangsung di atas wilayah adat.
“Kami menyerukan agar prinsip-prinsip pengakuan, penghormatan, dan perlindungan masyarakat adat dijadikan prioritas dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam, khususnya di tanah Papua,” tegas Teddy.
Discussion about this post