Wanaloka.com – Tak hanya di Jakarta Utara, mikroplastik juga ditemukan dalam air hujan di Surabaya, Jawa Timur akibat pembakaran sampah plastik. Artinya, mikroplastik tidak hanya ditemukan di air dan tanah, tetapi juga di udara dan air hujan.
Keberadaan partikel ini bisa menyebar di mana saja. Penyebaran mikroplastik dapat memberikan berbagai dampak di lingkungan. Mengapa?
Bermula dari peningkatan produksi plastik yang begitu pesat sejak tahun 1950-an. Benua Asia menjadi benua yang memproduksi hampir setengah dari produksi dunia pada tahun 2014. Bahkan, Indonesia menjadi negara dengan polusi plastik terbesar kedua di dunia.
Plastik banyak diproduksi karena sifatnya yang tahan lama, ringan, dan tahan korosi. Selain itu, plastik merupakan bahan yang sering digunakan di berbagai sektor seperti konstruksi, elektronik, pertanian, hingga peralatan rumah tangga.
Baca juga: KSPL dan AJI Jakarta Luncurkan Buku Jejak Kemandirian Pangan Lokal
Dari plastik itulah tersusun mikroplastik yang merupakan partikel plastik yang terdegradasi dari plastik besar. Ada juga mikroplastik primer yang terbentuk dari senyawa polimer sintetik berukuran besar. Kemudian terfragmentasi menjadi partikel kecil dengan ukuran kurang dari lima milimeter.
Mikroplastik juga memiliki sifat-sifat dasar seperti sulit terurai, berukuran kurang dari lima milimeter. Bahkan mikroplastik memiliki sifat yang ringan.
“Karena sifat-sifat mikroplastik itu, mikroplastik menjadi bahan yang mudah terbawa oleh udara, air, hingga aktivitas manusia,” kata Dosen Teknik Lingkungan Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga (Unair), Rizkiy Amaliyah Barakwan di FST Kampus MERR-C di Surabaya.
Asal usul mikroplastik
Dosen FST Unair, Dwi Ratri Mitha Isnadina menyampaikan keberadaan mikroplastik pada air hujan bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Fenomena ini telah ditemukan di banyak negara dan merupakan bagian dari dinamika lingkungan global.
Baca juga: Update Bencana Sumatra, Korban Meninggal 867 Orang, Operasi Pembukaan Jalan Diintensifkan
“Mikroplastik sudah banyak teridentifikasi pada media air seperti sungai maupun laut. Ketika air mengalami penguapan, partikel-partikel ini dapat terbawa ke atmosfer dan akhirnya kembali turun bersama hujan. Jadi, temuan mikroplastik pada air hujan di Surabaya bukanlah hal baru yang sulit diprediksi,” papar Ratri.
Mikroplastik merupakan partikel plastik berukuran 1 mikrometer hingga 5 milimeter. Sementara partikel yang lebih kecil dari 1 mikrometer dikategorikan sebagai nanoplastik. Berdasarkan sumbernya, mikroplastik dibedakan menjadi dua jenis, yakni primer dan sekunder.
“Primer itu sejak awal berukuran mikro, misalnya butiran scrub pada produk sabun wajah. Kalau sekunder berasal dari degradasi plastik berukuran besar,” terang dia.
Mikroplastik dapat berasal dari banyak aktivitas manusia, termasuk proses pembakaran sampah. Pembakaran yang dilakukan secara terkontrol di fasilitas resmi, umumnya dilengkapi dengan unit pengelolaan gas buang. Namun pembakaran sampah secara terbuka berpotensi melepas lebih banyak partikel ke atmosfer karena tidak ada sistem pengendalian.
Baca juga: BMKG Ingatkan Potensi Hujan Lebat 5-11 Desember 2025
Dalam keseharian, mikroplastik bisa berasal dari degradasi plastik, produk konsumen seperti scrub wajah, furniture yang terkikis sebagian, hingga ban yang bergesekan dengan aspal.
Terdapat tujuh jenis polimer plastik dengan kegunaan dan tingkatan terurainya masing-masing. Jenis yang paling susah terurai adalah PVC yang biasa digunakan untuk pipa dan kabel. Jenis tersebut sudah disesuaikan untuk bisa memenuhi kebutuhan penggunaannya.
Namun ada juga plastik yang bisa terurai dengan mudah oleh mikroorganisme. Seperti plastik biodegradable yang terbuat dari bahan-bahan berbasis tanaman, sehingga membuat plastik jenis ini dapat dengan mudah terurai.
“Biasanya plastik jenis ini digunakan untuk plastik sampah,” imbuh Rizkiy.
Rantai mikroplastik
Hasil penelitian Dosen Teknik Lingkungan FST Unair, Prof. Agoes Soegianto mengungkap, semua lingkungan perairan di Indonesia tidak ada yang bebas dari mikroplastik. Bahkan di sumber mata air dan udara terdapat mikroplastik karena sangat kecil.
Baca juga: Berulang Kali Tapanuli Selatan Dihantam Banjir Bandang Gelondongan Kayu dari Hulu
“Mikroplastik itu menarik untuk diteliti. Meski kecil, dampaknya signifikan walaupun dampak pastinya masih harus diteliti,” kata Agoes.
Selain itu, populasi mikroplastik di Laut Jawa mengalahkan populasi plankton yang ada di sana. Sangat mungkin menyebabkan ikan salah memakan mikroplastik karena mirip dengan plankton.
Jika ikan memakan mikroplastik yang ada di laut, maka dapat menyebabkan luka pada sistem pencernaan ikan. Mikroplastik yang terbawa ke tubuh ikan juga berpotensi membawa racun dan menumpuk pada rantai makanan.
Mikroplastik juga dapat membawa bahan-bahan lingkungan di sekitarnya, mulai dari logam berat hingga bakteri. Mengingat mikroplastik memang akumulator berbagai bahan tercemar seperti logam berat, dan juga bakteri.
“Bahan tersebut dapat masuk ke tubuh manusia saat memakan ikan yang mengandung mikroplastik,” tutur dia.
Mikroplastik lama-kelamaan akan membawa dampak, meskipun belum ada penelitian yang menyebut dengan pasti mikroplastik itu berdampak nyata bagi manusia. Sebab 80 persen mikroplastik yang masuk akan ikut dikeluarkan.
Cara menanggulangi mikroplastik adalah pengelolaan sampah yang baik dari hulu ke hilir. Upaya itu memerlukan dukungan dari pemerintah.
Baca juga: Anggota DPR Kritik Pernyataan Pejabat Publik Soal Banjir Sumatra Minim Empati
Dampak bagi tubuh
Mikroplastik menjadi isu lingkungan dan kesehatan global yang semakin serius. Partikel berukuran sangat kecil itu tidak hanya mencemari air dan tanah, tetapi juga dapat masuk ke tubuh manusia melalui makanan, minuman, udara, hingga produk sehari-hari.
Fenomena air minum dalam kemasan yang kini tidak lagi jelas kandungan mineralnya juga menjadi sorotan. Saat ini, persoalan mikroplastik telah memasuki fase krisis.
“Air yang kita minum kebanyakan dalam kemasan plastik. Dulu disebut air mineral dalam kemasan karena mengandung mineral. Sekarang namanya air minum dalam kemasan, jadi patut dipertanyakan kandungannya,” kata Ketua LPMB Unair, Prof. Herry Purnobasuki.
Peneliti Greenpeace Indonesia, Afifah Rahmi Andini memaparkan hasil riset bersama sejumlah fakultas kedokteran. Dari 67 partisipan di Jabodetabek, mikroplastik terdeteksi dalam darah, urin, dan feses manusia, dengan PET sebagai polimer yang paling banyak ditemukan. Mikroplastik itu masuk melalui mulut, kulit, hingga peredaran darah manusia.
“Subjek dengan konsumsi tinggi memiliki risiko 36 kali lebih besar mengalami gangguan kognitif,” ungkap Afifah.
Baca juga: Hatma Suryatmojo, Banjir Bandang Sumatra Akibat Akumulasi Dosa Ekologis di Hulu DAS
Dosen Kebidanan Fakultas Kedokteran Unair, Lestari Sudaryanti pun mengungkapkan beberapa temuan hasil beberapa penelitiannya. Bahwa produk hasil pembakaran dapat menghasilkan mikroplastik yang masuk ke dalam aliran darah manusia. Bahkan partikel itu bisa masuk hingga mencapai plasenta.
“Semua itu masuk ke dalam tubuh kita dan ikut beredar ke berbagai organ tanpa kita sadari,” ungkap Lestari.
Sebab mikroplastik memiliki kemampuan menembus jaringan tubuh dan membawa zat kimia berbahaya, sehingga menimbulkan risiko jangka panjang bagi kesehatan ibu maupun janin.
Perempuan adalah kelompok yang memiliki kerentanan biologis lebih tinggi terhadap paparan bahan kimia. Perubahan hormon bulanan, kondisi sosial, serta jenis pekerjaan tertentu membuat paparan mikroplastik pada perempuan jauh lebih tinggi.
Ia juga mencatat masih minim data berbasis gender dalam isu mikroplastik. Padahal risiko paparan pada perempuan dan pekerja di sektor tertentu cukup tinggi. Paparan ini berdampak sejak masa kehamilan, di mana mikroplastik pada air ketuban berpotensi memengaruhi perkembangan awal organ penting seperti otak, liver, dan paru-paru pada janin.
Baca juga: Kerugian Bencana Ekologis Sumatra Rp68,67 Triliun, Tak Sebanding Sumbangan dari Tambang dan Sawit







Discussion about this post