Wanaloka.com – Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Ecocity telah memicu konflik agraria yang kompleks dan berlarut-larut. Dewan Penasihat Pusat Studi Agraria IPB University Rina Mardiana mengungkapkan, meskipun Pemerintah telah menawarkan relokasi dan kompensasi, tetapi tidak ada dokumen hukum yang menjamin kepastian tersebut.
“Meskipun pemerintah mengeluarkan regulasi untuk mendukung proyek ini, misalnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 tahun 2023, pelaksanaan di lapangan tidak sesuai dengan prinsip keadilan sosial dan partisipasi masyarakat,” ujar Dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB University ini dalam diskusi daring “Suara Lantang Masyarakat Rempang” yang difasilitasi Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA) secara daring via YouTube pada 21 Juni 2024.
Rina yang telah berinteraksi dengan warga Rempang justru melihat fakta berbeda di lapangan soal klaim relokasi dengan janji-janji yang indah. Ia menemukan fakta bahwa rumah relokasi sama sekali belum dibangun.
Baca Juga: Api Abadi Tanjung Api dan Mata Air Panas One Pute di Sulawesi Tengah Mengandung Hidrogen Alami
Melihat fakta tersebut, ia memaparkan tiga poin terhadap ketidakpastian dan ketidakadilan relokasi yang terjadi. Pertama, nelayan Rempang menolak relokasi karena khawatir kehilangan mata pencaharian dan merusak ekosistem laut.
“Pemerintah dinilai tidak transparan dalam perencanaan dan komunikasi proyek yang menyebabkan ketidakpastian tersebut,” kata dia.
Kedua, pembangunan pabrik kaca dan kota baru diperkirakan akan menyebabkan dampak negatif pada ekosistem laut dan memaksa nelayan mencari ikan lebih jauh. Ketiga, terjadi penolakan konsisten dari masyarakat Rempang karena terancam kehilangan tanah leluhur.
Baca Juga: Fahrul Muzaqqi, Ormas yang Terima Konsesi Tambang akan Punya Utang Politik
Akibatnya, masyarakat Rempang tetap merasa tidak aman, terpinggirkan, bahkan terancam masa depan kehidupannya. Konflik ini diperburuk dengan regulasi yang tidak mempertimbangkan perlindungan kampung tua dan masyarakat adat.
Dalam risetnya, Rina juga berinisiatif mengumpulkan berbagai artikel media massa dan video di berbagai media sosial. Hasilnya, ia menjumpai hal berbeda dengan fakta di lapangan. Rina mengatakan, sebanyak 3.000 berita dari berbagai media dan seluruh rilis yang diterbitkan Badan Pengusahaan (BP) Batam terdapat ketidakseimbangan pemberitaan.
“Jadi pemberitaan mengenai proyek ini didominasi rilis resmi BP Batam yang menonjolkan potensi keuntungan ekonomi tanpa cukup menggambarkan situasi di lapangan,” jelas dia.
Discussion about this post