Wanaloka.com – Peneliti dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nuraini Rahma Hanifa mengungkapkan, berdasarkan hasil risetnya, segmen megathrust di selatan Jawa, termasuk Selat Sunda, menyimpan energi tektonik yang signifikan dan berpotensi melepaskan gempa berkekuatan magnitudo 8,7 hingga 9,1.
Dengan demikian, lanjut dia, potensi bencana dalam bentuk gempa megathrust di wilayah selatan Jawa bisa saja terjadi dan memicu tsunami dengan skala serupa di Aceh pada 2004.
“Potensi megathrust ini dapat memicu goncangan gempa yang besar dan tsunami, yang menjalar melalui Selat Sunda hingga ke Jakarta dengan waktu tiba sekitar 2,5 jam,” ungkap Rahma usai menghadiri acara Peringatan 20 Tahun Tsunami Aceh, di Banda Aceh, Kamis, 26 Desember 2024.
Baca juga: Nyoman Kertia, Potensi Tanaman Herbal Mampu Menggantikan Obat-obatan Kimia
Ia pun mengajak kepada seluruh masyarakat untuk lebih waspada terhadap potensi bencana yang bisa datang kapan saja. Dan perlu mendapat perhatian serius dari para pemangku kepentingan dan masyarakat luas agar dapat melakukan mitigasi risiko dampak bencana dengan cermat.
Berdasarkan simulasi yang telah dilakukan BRIN bersama tim peneliti dari berbagai institusi, jika tsunami terjadi, maka ketinggian gelombang diperkirakan dapat mencapai 20 meter di pesisir selatan Jawa, 3–15 meter di Selat Sunda, dan sekitar 1,8 meter di pesisir utara Jakarta. Penelitian ini juga menunjukkan fenomena serupa pernah terjadi dalam sejarah, seperti tsunami Pangandaran 2006 yang dipicu marine landslide di dekat Nusa Kambangan.
“Energi yang terkunci di zona subduksi selatan Jawa terus bertambah seiring waktu. Jika dilepaskan sekaligus, goncangan akan memicu tsunami tinggi yang bisa berdampak luas, tidak hanya di selatan Jawa tetapi juga di wilayah pesisir lainnya,” imbuh dia.
Baca juga: ISO 22328-3, Standar Sistem Peringatan Dini Tsunami Berbasis Masyarakat
Ia menambahkan, melalui penelitian paleotsunami, BRIN menemukan bahwa gempa megathrust di selatan Jawa memiliki periode ulang sekitar 400–600 tahun. Dengan kejadian terakhir diperkirakan pada 1699, energi yang tersimpan saat ini telah mencapai titik kritis.
Mitigasi adalah kunci
“Bencana seperti tsunami Aceh mengajarkan kita, bahwa kesiapsiagaan dan mitigasi bencana adalah kunci untuk menyelamatkan nyawa,” tegas dia.
Untuk itulah, BRIN menekankan pentingnya mitigasi melalui pendekatan struktural dan non-struktural. Pendekatan struktural meliputi pembangunan tanggul penahan tsunami, pemecah ombak, serta penataan ruang di kawasan pesisir dengan memperhatikan jarak aman 250 meter dari bibir pantai.
Baca juga: Jelang Natal 2024, Banjir dan Longsor di Mandailing Natal, Situbondo dan Tarakan
“Pembangunan hutan pesisir atau vegetasi alami seperti pandan laut dan mangrove juga menjadi solusi berbasis ekosistem untuk meredam energi gelombang tsunami,” jelas Rahma.
Sementara itu, pendekatan non-struktural melibatkan kesiapsiagaan masyarakat melalui edukasi mitigasi bencana, pelatihan simulasi evakuasi, serta penyediaan jalur dan lokasi evakuasi yang memadai.
Discussion about this post