Sementara Walhi Yogyakarta melihat persoalan salah urus tata ruang tak hanya terjadi di dalam wilayah kota, tetapi menyebar ke wilayah pinggiran, seperti ambisi membangun perkotaan baru Aeropolis Yogyakarta International Airport (YIA) di Kulon Progo. Mega proyek perkotaan baru telah meningkatkan kerentanan kawasan, mengingat proyek tersebut dibangun di wilayah rawan bencana seperti gempa dan tsunami.
“Ambisi Aeropolis memicu kemunculan Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener yang merampas ruang hidup warga di wilayah lain, seperti Wadas,” jelas Direktur Walhi Yogyakarta Halik Sandera.
Proyek tersebut dibangun untuk memenuhi sumber air di Aeropolis YIA. Kondisi ini kontradiktif dengan situasi krisis air di Kota Yogyakarta yang disebabkan ekstraksi air tanah oleh industri pariwisata, terutama perhotelan.
Baca Juga: Sudah Diperingatkan, Empat Kabupaten di Aceh Dilanda Banjir Ribuan Warga Mengungsi
Kemudian di Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gunung Sewu di Gunungkidul yang menjadi kawasan lindung air justru akan dikurangi demi kebutuhan pariwisata. Parahnya, sumber air terdekat dihilangkan, lalu mencari sumber air di wilayah lain, tetapi caranya eksploitatif sehingga merusaknya.
Terakhir, Walhi Jawa Timur mengungkapkan, persoalan salah urus tata ruang di Jawa Timur mengakibatkan kerentanan di wilayah hulu dan hilir.
“Penataan ruang benar-benar kacau di wilayah hulu DAS Brantas, yakni Kota Batu, Malang,” kata Direktur Walhi Jawa Timur Wahyu Eka.
Baca Juga: Konferta AJI Yogyakarta 2023, Ini Nakhoda Baru AJI Yogyakarta Periode 2023–2026
Kawasan lindung beralih fungsi menjadi hotel, wisata buatan dan peruntukkan lain. Pembangunan tersebut menyebabkan banjir, longsor serta menghilangkan sumber mata air. Kerusakan ekosistem di wilayah hulu mengancam wilayah hilir seperti Malang, Pasuruan hingga Surabaya.
Peningkatan kejadian bencana hidrometeorologi dipadu dengan penataan ruang yang kacau, seperti pembangunan di sempadan sungai, alih fungsi kawasan hingga minimnya ruang terbuka hijau, semakin memperentan kondisi Kota Malang. Sementara perluasan perumahan mewah ke kawasan pinggir di Surabaya, seperti di barat dan timur oleh korporasi besar menyebabkan area resapan air hilang seperti alih fungsi waduk dan mangrove. Peningkatan kejadian bencana dan peningkatan kerentanan kota mengakibatkan peningkatan dampak dan perluasan area terdampak bencana.
Walhi Nasional menyimpulkan, salah urus tata ruang menjadi problem utama yang mendorong bencana di lima wilayah tersebut. Sekaligus menjadi penyebab bencana ekologis karena kebijakan pemerintah mendukung investasi masif, seperti proyek mega infrastruktur, perluasan kawasan industri, hingga obral izin industri ekstraktif besar-besaran seperti pertambangan telah meningkatkan kerentanan Pulau Jawa.
Baca Juga: Joni Aswira dan Fira Abdurrahman Memimpin Jurnalis Lingkungan SIEJ 2022-2025
“Kebijakan tata ruang dan pembangunan pemerintah mengabaikan rekomendasi berbagai kajian saintifik tentang potensi krisis air, kerentanan bencana, ancaman dampak perubahan iklim hingga penurunan permukaan tanah di Pulau Jawa,” tegas Direktur Walhi Nasional Abdul Ghofar.
Walhi Nasional mendorong pemerintah pusat maupun daerah untuk melihat persoalan bencana ekologis di Jawa secara serius dengan melakukan evaluasi perencanaan dan penataan tata ruang berwawasan lingkungan dengan memastikan jaminan keselamatan rakyat. Pembangunan mega infrastruktur, seperti PSN harus ditinjau secara kritis melihat perubahan fungsi kawasan lindung, kawasan rawan bencana hingga situasi sosial masyarakat.
Pendekatan penanganan bencana dan solusi teknis bencana sangat tidak cukup menyelesaikan persoalan. Melainkan perlindungan kawasan penyangga, pemulihan lingkungan yang rusak hingga penghentian aktivitas ekstraktif menjadi salah satu jalan keselamatan dari ancaman bencana ekologis di masa mendatang. [WLC02]
Discussion about this post