Pernyataan ini menjadi pengingat setiap individu memiliki andil dalam menciptakan beban lingkungan. Aksi pemilahan dari sumber menjadi kunci utama yang tidak bisa ditawar lagi.
Si sisi lain, KLH/BPLH juga memastikan aspek penegakan hukum tetap berjalan beriringan dengan upaya edukasi. Ia menyayangkan target nasional pengelolaan sampah sebesar 52 persen tahun 2025 belum terpenuhi sepenuhnya.
Baca juga: Empat Orangutan Dipulangkan ke Indonesia di Tengah Perusakan Hutan Sumatra
Kondisi stagnan ini memicu langkah tegas dari kementerian untuk memberikan peringatan keras kepada pemerintah daerah yang masih abai dalam mengelola wilayahnya. Mengingat UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah telah memberikan mandat yang jelas bagi pemerintah pusat dan daerah. Sanksi ini diharapkan menjadi pemacu bagi kepala daerah untuk memprioritaskan anggaran dan teknologi dalam sistem pengelolaan sampah di wilayah masing-masing.
“Sampah ini jangan menjadi masalah yang berlarut-larut. Ke depan, kami akan memberikan sanksi administrasi berupa paksaan pemerintah kepada daerah-daerah yang pengelolaan sampahnya belum maksimal dan berada di luar ambang batas yang telah ditetapkan,” tegas dia.
Selain meninjau tempat pemrosesan akhir, Hanif juga menyisir simpul transportasi massal di Stasiun Tegal dan Stasiun Cirebon. Upaya itu untuk memastikan pengelola fasilitas publik tetap menjaga standar kebersihan dan menyediakan sarana pemilahan yang memadai bagi penumpang.
Baca juga: Hasil Permodelan Kecerdasan Buatan, Iklim 2026 Bersifat Normal
KLH/BPLH mengklaim untuk mengawal rantai sampah secara utuh, mulai dari titik timbulan di tempat publik hingga proses akhir di TPA. Bukan hanya untuk mengamankan kenyamanan libur Nataru, tetapi sebagai momentum besar membangun budaya baru Indonesia yang lebih bertanggung jawab terhadap sampah demi keberlanjutan masa depan.
Mengelola sampah tanggung jawab bersama
Sebuah praktik baik pengelolaan sampah diterapkan di Desa Panggungharjo, Kabupaten Sleman. Di sana dibangun sistem pengelolaan sampah bertanggung jawab sejak 2013 dengan lima pilar, yaitu infrastruktur politik, infrastruktur sosial, infrastruktur ekonomi, infrastruktur teknologi dan pewarisan pengetahuan melalui pendirian Pusat Pendidikan Pengelolaan Sampah Perkotaan.
Lurah Panggungharjo, Ari Suryanto memperkenalkan model pengelolaan sampah komunal melalui BUMDes yang menjadi rujukan nasional. Lewat BUMDes, sejak 2013 desa itu mampu mengolah sampah organik, residu, minyak jelantah, hingga rosok.
Baca juga: Pengadilan Swiss Terima Gugatan Iklim Nelayan Indonesia Atas Holcim
“Sistem pemilahan menjadi sumber kunci utama keberhasilan desa ini,” kata Ari dalam Workshop Pengolahan Sampah: Community-Driven Waste Management and Circular Economy yang digelar Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta, Rabu, 10 Desember 2025.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program CircuLife–SLI 2025 yang berfokus pada pengelolaan sampah berbasis masyarakat dan ekonomi sirkular. Mengingat sampah di Yogyakarta belum bisa diolah dan dikelola dengan baik.
“Kita prihatin melihat ada data sampah di Yogyakarta ini yang bisa diolah dan dikelola kembali hanya sekitar 40 persen saja,” papar Dekan Fakultas Peternakan UGM, Prof. Budi Guntoro sambil mengingatkan program pengelolaan sampah ini sejalan dengan tujuan Health Promoting University (HPU) UGM.
Baca juga: Waspada Gelombang Tinggi di Pesisir Selatan Akibat Siklon Tropis Grant
Bagi Lurah Triharjo, Kabupaten Sleman, Irawan pengelolaan sampah merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya individu. Sayangnya, belum sepenuhnya masyarakat menyadari hal tersebut.
“Di wilayah kami sudah diberlakukan sanksi. Kemarin yang sengaja membuang sampah asli warga Triharjo hanya 1 orang, 4 orang lainnya dari luar daerah,” kata Irawan.
Dosen Fakultas Peternakan, Viagian Pastawan menambahkan pentingnya pengolahan limbah organik agar tidak mencemari lingkungan. Terutama karena kandungan nitrogen berlebih dapat meresap ke tanah atau air permukaan. [WLC02]






Discussion about this post