Meski demikian, ia mengaku belum bisa 100 persen meninggalkan pupuk kimia. Alasannya, tanah di Samigaluh belum bisa lepas dari pupuk pabrik itu.
Padahal harga pupuk kimia mahal mencapai Rp13 ribu – Rp14 ribu per kilo. Untuk mendapat pupuk harga subsidi harus mempunyai kartu tani yang diperoleh bila bergabung dalam kelompok tani. Ia pun berusaha untuk konsisten menggunakan pupuk alami.
“Petani memang harus kembali lagi ke alam, kembali ke zaman dulu. Dulu enggak pakai pupuk pun bisa tumbuh,” papar Yohana.
Bersama Karisma, kini Yohana berupaya menggairahkan kembali semangat perempuan-perempuan KWT “Tuwuh”. Kebiasaan di sana, semangat bisa bangkit kalau sudah ada yang memulai dan berhasil.
“Masyarakat pedusunan seperti itu. Kalau melihat ada orang sukses, berhasil, nanti pengen ikut. Dulu awalnya juga gitu. Mungkin nanti gitu juga,” ucap dia.
Ahad lalu, Yohana ikut kegiatan kunjungan Karisma ke Tani Organik Merapi (TOM). Ia kepincut dengan budidaya lidah buaya.
Ia membeli satu tanaman itu untuk dicobakembangkan di lahannya. Bila nanti belum bisa mengolahnya menjadi produk pangan, setidaknya bisa dijual mentahan. Tiga pelepah lidah buaya bisa mencapai berat satu kilo dan laku Rp11 ribu.
“Semoga nanti bisa untuk membangkitkan kelompok,” harap dia.
Lestari dengan Buah
Meski sama-sama di Bukit Menoreh di Kecamatan Samigaluh, jalan ke kediaman kader Karisma, Th. Harning Sulastri, 51 tahun dan suaminya, Archagius Subari, 54 tahun di Dusun Nyemani, Desa Sidoarjo lebih ekstrem. Beberapa ruas jalan menanjak curam, bahkan ada yang nyaris miring 30 derajat. Saat turun pun serasa naik roller coaster.
Sambil mengudap buah duku hasil panen, kami meriung di teras rumahnya. Ditemani lengkingan garengpung alias tonggeret yang menandai musim kemarau tiba dan gemerisik dedaunan pohon yang saling beradu ditiup angin.
Subari mengisahkan, bapaknya dulu mengolah lahan sawah tadah hujan. Saat usia lanjut, ia tak sanggup mengelola sawah sehingga diubah menjadi kebun atau tegalan cengkeh, lada, dan kemukus yang panen setahun sekali. Sayangnya, lada dan cengkeh punah karena hama.
Sepulang merantau pada 2006, Subari melanjutkan untuk mengelola kebun pada 2008. Lahannya keras di tanah miring yang rawan longsor. Di dalamnya terpendam aneka sampah berupa plastik, pecah belah hingga baju-baju bekas. Butuh waktu enam bulan untuk membersihkan, mengolah lahannya dan membuat terasering dengan bebatuan.
Ia ingin mempraktikkan cara bertanam dengan teknik organik yang diperolehnya di perantauan. Meskipun pupuk kandang yang digunakan belum diolah alias mentahan. Tanaman awal adalah singkong, pisang, cengkeh, dan sengon laut albasia. Di bawahnya ditanami aneka empon-empon, seperti jahe dan kapulaga.
Pisang kojo dan ambon hampir lima hari sekali dipanen dan dijual dengan harga antara Rp25 ribu hingga Rp125 ribu per tandan. Setahun lalu pohon pisang dirobohkan dan jadi kompos karena serangan hama. Lantaran pisang mendadak menjadi keras, meskipun luarnya kuning.
“Kata tetangga, itu mengandung racun,” kata Subari.
Sementara sengon laut albasia menjadi andalan dan dijual ke pabrik kayu gelondong untuk membiayai kuliah dua anaknya di Malang. Terakhir dipanen pada 2016 dan tak menanam lagi karena akar pohon itu merusak terasering. Saat ditebang, batang pohon roboh dan merusak tanaman di sekitarnya.
Awal September 2023, Subari dan Harning menanam cabai merah keriting. Ada 5.000 bibit cabai seharga Rp590 ribu yang dibeli dan ditanam di tegalan bekas sawah. Saat itu masih kemarau sehingga harus menyiraminya tiap pagi dan sore.
“Saya upayakan secara organik. Sebagian pakai kompos, sebagian besar dengan pupuk kandang. Dan tidak pakai pestisida kimia. Tapi gagal total,” ungkap Subari.
Memasuki musim penghujan, tanaman cabai mulai berbuah banyak, tetapi membusuk.
“Setengah putus asa kemarin,” keluh Subari.
Dengan sisa semangat, ia menanam cabai lagi dan gagal lagi karena cuaca tak bersahabat. Hujan dan panas muncul bergantian dan diserbu lalat buah.
Tetangga menyarankan agar menjebak lalat buah dengan botol. Dalam dua hari, botol jebak di 15 titik sudah penuh lalat buah.
Penjual di toko pertanian menyarankan untuk menyemprot dengan pestisida. Tetapi kombinasi pestisida dua macam juga tidak berhasil. Sempat terpikir, cabai tak cocok ditanam di lahannya. Subari terlanjur patah arang.
Saat Harning ikut berkunjung ke TOM yang difasilitasi Karisma pada Ahad lalu, dijelaskan bahwa memasang penjebak untuk lalat buah adalah keliru. Yang benar, menanam tanaman bunga berbau menyengat untuk mengusir hama, seperti kenikir, bunga kertas, bunga matahari, serai.
“Lalat buah akan pindah ke bunga-bunga itu. Larvanya juga akan mati sendiri. Ke depan kami akan berusaha seperti itu,” kata Harning yang sedari pagi hingga sore bekerja di puskesmas sehingga tak bisa sepenuhnya mengurus kebun.
Semangat mereka bangkit lagi. Apalagi dua musim lalu, ia pernah menanam cabai di lahan miring di belakang rumah. Ada yang rontok dan busuk, tapi tak separah yang ditanam di lahan bekas sawah. Bahkan mereka bisa memanen dua kali.
Saat ini, mereka ingin menanam buah-buahan, terutama durian, alpukat dan manggis. Untuk pohon durian sudah ditanam lima tahun lalu. Ada yang mati saat kemarau karena kurang air. Ada yang sudah berbuah sekali.
“Kami makin tua. Nanti yang merawat kebun siapa. Anak-anak diajak ke kebun saja nggak mau. Kalau nanam buah, nanam sekali bisa panen berkali-kali. Tidak dirawat pun bisa menghasilkan,” papar Subari mengungkap alasannya.
Perawatan ekstra cukup dilakukan saat awal penanaman. Selanjutnya diharapkan terus berbuah dan anak keturunan yang akan melanjutkan.
“Seperti pohon manggis yang ditanam orang tua saya. Sejak saya kecil sampai sekarang masih berbuah,” kata Harning.
Sementara pohon sawo yang ingin ditanam adalah sawo raksasa, Mamey Sapote. Tanaman buah asal Amerika Latin itu beraroma sawo, tetapi punya perpaduan rasa antara ubi cilembu dan papaya. Subari sudah membeli satu bibit seharga Rp750 ribu di Salaman, Kabupaten Magelang.
Ia juga mulai membuat POC. Bahannya dari aneka buah-buahan, seperti pisang, papaya, nenas dan mangga yang sudah tidak layak jual, tetapi belum busuk.
Ia membuat dengan perbandingan 1:3:10. Maksudnya, 1 liter tetes tebu, 3 kilogram buah, dan 10 liter air. Kemudian ditutup dan didiamkan minimal selama tiga bulan.
Mereka juga pernah memelihara kambing dan sapi. Kotorannya mereka gunakan untuk membuat pupuk kandang. Namun ternak kambingnya tak pernah berumur lama karena mati terserang penyakit. Sapinya pun dijual.
Baca Juga: BMKG Sebut Potensi Kekeringan sampai Oktober 2024
“Sekarang nggak miara kambing jadi masalah juga, karena butuh pupuk. Rumput-rumput di lahan yang manen tetangga. Akhirnya kami minta pupuk dari mereka (barter),” jelas Subari.
Di lahan miring di depan rumah mereka juga ditanami aneka sayuran. Ada pare, pohon kelor, juga aneka empon-empon. Harning memproduksi bahan minuman wedang uwuh yang dijual secara online lewat akun Instagram Wedang Uwuh Mbok Kisruh. Bahkan awal pandemi lalu, pemesannya dari Singapura, Malaysia dan Australia.
Di sisi lain, Subari dan Harning tak mudah mengajak tetangga sekitar untuk menerapkan pola pertanian lestari. Rata-rata tak puas apabila bertanam tanpa pupuk kimia, karena hasilnya tak maksimal.
“Kami harus praktik dulu, tunjukkan secara riil, nggak hanya omongan. Tapi ya sulit,” kata Subari.
Setidaknya ada dua orang tetangga yang mulai menjauhi pupuk kimia, namanya Yanto dan Sugeng. Mereka juga punya pengalaman merantau seperti Subari dan tengah mencoba menanam pohon sawo Mamey Sapote.
Subari mengajak mereka tiap kali ada pelatihan dengan Karisma. Keduanya antusias karena ingin beralih hidup sehat, termasuk mengurangi penggunaan plastik.
“Pak Sugeng punya tanaman depan rumahnya, jos sekali! Jagung, cabai, kacang. Pakai polybag di pekarangan rumah. Pengen niru, tapi belum terlaksana,” imbuh Harning.
Jatuh bangun perjuangan perempuan-perempuan petani Karisma untuk berpindah dari pertanian konvensional ke pertanian lestari diakui pendiri Karisma, Herni Saraswati sebagai proses. Meskipun masih belum sepenuhnya meninggalkan pupuk dan pestisida kimia.
“Yang murni tidak pakai (kimia), sudah ada. Kalau ada yang menerapkan 2-3 orang saja, sudah saya anggap berhasil,” kata pegiat pertanian lestari itu.
Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih 2020-2024, Sana Ullaili menambahkan proses ‘hijrah’ ini tidak bisa dipaksakan. Apalagi perubahan itu berisiko menurunkan pendapatan mereka.
“Karena pemulihan tanah butuh dua tahun. Produksinya pun masih turun, karena kontaminasi kimianya masih kuat. Kalau mau zero (bersih dari residu kimia), ya 3-5 tahun,” kata Sana.
Adaptasi Pertanian Lestari
Masalah perubahan iklim yang ditandai dengan meningkatnya suhu bumi dan perubahan cuaca ekstrem berdampak secara global, termasuk di Kulon Progo. Salah satu dampaknya adalah kemarau panjang, badai, hujan lebat dan lainnya yang bisa merusak tanaman pertanian.
Melalui pertanian lestari, perempuan-perempuan petani Karisma telah memulai upaya untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Meskipun baru satu langkah kecil.
Staf Lapangan Sekretariat Pelayanan Tani dan Nelayan Hari Pangan Sedunia (SPTN-HPS), Hardiyoko mencontohkan, langkah kecil itu bisa dimulai dari penghematan air. Lahan yang dipupuk secara alami tidak membutuhkan banyak air. Bahkan cukup dialiri air sepekan sekali. Saat kemarau, padi tetap bisa tumbuh, karena tanahnya bisa menyimpan air.
“Itu sampai panen padi,” kata Yoko.
Sebaliknya, pertanian dengan pupuk kimia harus dialiri air tiga hari sekali. Jika tidak, maka tanah akan kering.
Perubahan iklim berpotensi membawa kegagalan panen. Penggunaan pupuk kimia juga semakin memperburuk pertanian karena tanaman rentan diserang hama. Pestisida kimia juga ikut membunuh makhluk lain yang menjadi predator hama, misalnya laba-laba pemakan walang sangit. Seiring berjalannya waktu, hama juga makin kebal terhadap pestisida.
“Dan pestisida kimia itu menyebabkan polusi air, polusi udara, dan memutus rantai kehidupan,” kata Yoko.
Pupuk kimia maupun pupuk kandang yang tidak diolah (mentahan) mengandung gas metan. Bila lepas ke udara akan menambah gas rumah kaca yang memerangkap panas bumi sehingga suhu bumi makin panas.
“Proses produksi pupuk kimia di pabrik menggunakan energi tak terbarukan,” imbuh Yoko.
Sana Ullaili menambahkan, pola pertanian lestari merupakan cara untuk beradaptasi dan memitigasi perubahan iklim. Pupuk kimia membuat batang-batang padi menjadi kaku dan keras sehingga gampang ambruk saat diterpa hujan lebat atau angin kencang.
“Berbeda dengan penggunaan pupuk alami yang membuat padi lentur,” kata dia.
Pertanian lestari juga menerapkan distribusi pangan yang tidak terlalu jauh, karena memprioritaskan pemenuhan kebutuhan bagi keluarga dan orang-orang sekitarnya. Upaya ini akan mengurangi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) kendaraan bermotor sehingga emisi karbon pun berkurang.
Budidaya padi organik (tanpa pupuk dan pestisida kimia) diakui Kepala Dinas Pertanian dan Pangan (DPP) Kulon Progo, Drajat Purbadi telah dilakukan di Kulon Progo. Semisal di Desa Jatisarono, Kecamatan Nanggulan yang sekaligus menjadi percontohan.
Dari total luas sawah di Kulon Progo 11.047 menurut Data BPS 2021, hanya lima persen lahan yang menerapkan pertanian organik.
Baca Juga: Teknologi Memanen Air Hujan dan Restorasi Sungai UGM Atasi Krisis Air
“Harapan kami, semakin banyak semakin bagus. Tapi kan tak mudah mengubah (pertanian konvensional ke organik),” kata Drajat saat dihubungi Wanaloka.com melalui sambungan telepon, Jumat, 17 Mei 2024 sore.
Drajat menilai petani lebih mudah menggunakan pupuk urea ketimbang kotoran ternak. Pupuk urea bisa cepat ditebarkan. Sedangkan pupuk kandang perlu angkutan untuk membawanya ke sawah karena berjumlah banyak.
“Jumlah ternak kami juga terbatas. Tidak mencukupi untuk memenuhi seluruh pertanian di Kulon Progo,” ucap Drajat.
Sementara proses pengendalian hama dengan cara hayati, menurut dia butuh waktu lebih lama, karena perlu ketelitian dan perlakuan khusus.
“Dan itu harus dilakukan berulang kali. Kalau disemprot dengan pestisida, hama habis,” kata Drajat.
Sebagai petani, Tuti tak bisa membayangkan dampak perubahan iklim bagi dirinya, keluarga, tetangga, dan masyarakat luas. Padahal perubahan iklim disebabkan oleh ulah manusia sendiri.
“Harusnya orang-orang itu sudah mulai berpikir, kalau tidak berani berubah ke pertanian lestari, bumi akan rusak toh. Nanam diberi pupuk kimia dalam jumlah banyak, semakin banyak, semakin banyak. Hasilnya nggak bagus, karena sudah tergantung,” kata Tuti.
Ia melihat sendiri petani menyemprot tanaman kacang panjangnya dengan pestisida dua hari sekali, tak jauh dari petak sawahnya. Petani itu juga memanennya dua kali sehari, lalu dijual.
“Njuk orang ini mung mangan racun? Tapi dho ora ngerti lho (lantas orang ini cuma makan racun? Tapi kan pada nggak tahu lho). Itu baru kacang panjang, belum yang lain,” lagi-lagi dia bergidik. [PITO AGUSTIN RUDIANA]
(Liputan ini merupakan fellowship Perempuan, Bisnis Berkelanjutan dan Perubahan Iklim yang diselenggarakan ASPPUK, AJI Indonesia dan Konde.co)
Discussion about this post