Baca Juga: Jelang SNDC, Pemerintah Perlu Koreksi Komitmen Iklim yang Adil Bagi Kelompok Rentan
Warga sampai di lokasi akhir evakuasi, dimana para petugas medis telah menunggu untuk melakukan pemeriksaan kesehatan bagi yang terluka.
Megathrust di Cilacap
Kamis pagi itu Desa Tegalkamulyan, Cilacap, Jawa Tengah, matahari bergulir makin tinggi dari ufuk timur. Aktivitas warga berjalan semestinya. Ada yang hendak melaut, pergi kepasar, bertani dan bekerja. Hiruk pikuk aktivitas para warga nampak sibuk terlihat dari lalu lalang di sebuah persimpangan dekat dengan Kelurahan Tegalkamulyan.
Tiba-tiba pukul 10.30 WIB, terjadi getaran bumi yang kuat dan dirasakan seluruh masyarakat di Cilacap dan sekitarnya. Di dalam bangunan perkantoran dan fasilitas umum tampak lampu-lampu gantung, ornamen di dinding serta benda di atas meja dan almari bergoyang-goyang dan sebagian berjatuhan. Selama 30 detik dirasakan masyarakat wilayah pantai Kabupaten Cilacap.
Baca Juga: Nuraini Hanifa, Sebagian Besar Gempa Megathrust di Sepanjang Sumatera
Warga yang sedang beraktivitas sontak berhamburan untuk berusaha menyelamatkan diri. Warga yang sebelumnya mendapatkan pelatihan, sudah lebih terorganisir melakukan evakuasi mandiri. Hal ini terlihat dari warga yang mencari tempat perlindungan awal terlebih dahulu sebelum gempa berhenti dirasakan. Usai gempa berhenti, warga segera mencari tempat terbuka dan melakukan evakuasi menuju Tempat Evakuasi Sementara (TES) di Politeknik Negeri Cilacap yang berjarak sekitar 750 meter.
Kondisi Indonesia di tengah zona antar lempeng tektonik aktif menjadi penyebab rawannya terjadi bencana gempa bumi dan tsunami. Suharyanto mengimbau masyarakat untuk tidak berlebihan dalam menyikapi isu potensi megathrust. Namun berfokus untuk meningkatkan kesiapsiagaan mulai dari tingkat keluarga.
“Kami fokus untuk memeriksa rencana evakuasi mandiri, jalur evakuasi, memelihara shelter dan melatih kembali komunikasi risiko berbasis komunitas,” tutur Suharyanto.
Baca Juga: Ada Rahasia Karst dan Gua di Banggai Sulawesi Tengah yang Baru Terungkap
Ia menambahkan untuk memanfaatkan sistem peringatan dini yang ada seperti kentongan, toa masjid, lonceng gereja, maupun sirine untuk menyampaikan tanda bahaya dan evakuasi.
“Kita hidup di negara yang rawan bencana, sehingga apapun bahayanya diperkuat budaya sadar bencana agar siap untuk selamat,” ujar dia.
Merah Putih Produk Pakar Indonesia
Sistem peringatan dini tsunami saat ini berfokus pada ancaman tsunami megathrust, seperti yang terjadi di Banda Aceh. Namun pengembangan Sistem Processing Merah Putih telah jauh berkembang dibandingkan 20 tahun lalu. Dengan demikian, pengembangan teknologi lokal dalam menghadapi ancaman tsunami di masa depan menjadi penting.
Baca Juga: Harman Ajiwibowo, Peran Pengaman Pantai Hadapi Dampak Perubahan Iklim
“Sistem ini tidak hanya disiapkan untuk menghadapi tsunami megathrust, tetapi juga untuk berbagai jenis tsunami lainnya,” kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam Focus Group Discussion terkait Sistem Processing Merah Putih di Auditorium BMKG, Kamis, 5 September 2024 yang dihadiri berbagai pakar, Bank Dunia, dan perwakilan dari berbagai universitas.
Pengembangan ini diharapkan mendukung kemandirian teknologi dalam sistem peringatan dini tsunami Indonesia (InaTEWS). Juga meningkatkan kualitas pelayanan informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami yang berguna bagi pemangku kepentingan dalam menyusun konsep evakuasi yang efektif dan efisien.
Lebih lanjut Dwikorita menyampaikan, BMKG bersama berbagai universitas di Indonesia saat ini tengah mengembangkan sistem pemrosesan tsunami dan gempa bumi yang sepenuhnya dikerjakan pakar-pakar Indonesia.
Baca Juga: Kemurai, Plastik Kemasan yang Dua Kali Terurai Lebih Cepat
“Ke depan, kami berharap bisa lebih mandiri mengembangkan teknologi mitigasi bencana. Meskipun kolaborasi dengan negara maju tetap dilakukan, kami tidak ingin lagi bergantung sepenuhnya pada teknologi mereka,” tegas Dwikorita.
Sistem baru yang dikenal dengan “Merah Putih” ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap teknologi asing.
Pengembangan Sistem Processing InaTEWS Merah Putih adalah manifestasi kemandirian bangsa dan upaya untuk mengurangi ketergantungan pada teknologi asing. Sistem ini diharapkan dapat mendorong kreativitas dan inovasi dari kalangan akademisi serta praktisi dalam merancang sistem peringatan dini yang lebih akurat dan efektif.
Dengan dukungan dari berbagai pihak, termasuk Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Indonesia (UI), sistem ini diharapkan menjadi contoh sukses kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan lembaga internasional. Meskipun tantangan masih ada, optimisme tetap tinggi bahwa Indonesia akan menjadi negara yang lebih siap menghadapi bencana di masa depan. [WLC02]
Discussion about this post