Meskipun demikian, kehadiran Tyto alba sebagai predator alami tidak berdampak negatif terhadap ekosistem padi. Sebaliknya, burung hantu ini berpotensi memperkaya keanekaragaman hayati agroekosistem sawah.
Baca juga: Penanganan Covid-19 Abaikan TBC, Kini Indonesia Jadi Partisipan Uji Klinik Global Vaksin M72
“Ini berbeda dengan pengendalian hama secara kimiawi menggunakan pestisida yang seringkali menimbulkan efek merugikan bagi lingkungan,” tambah dia.
Ia menekankan bahwa pengendalian hama tikus sawah yang efektif memerlukan strategi yang lebih komprehensif. Salah satunya melalui penerapan Trap Barrier System (TBS).
Metode ini akan mencapai hasil yang lebih optimal apabila dikombinasikan dengan teknik lain seperti pengemposan dan gropyokan, yaitu perburuan tikus secara massal setelah panen padi. Kombinasi ketiga metode pengendalian hayati inilah yang saat ini terbukti cukup efektif dalam menekan populasi tikus sawah.
Baca juga: Emerita pangandaran, Temuan Spesies Baru Undur-Undur Laut di Pantai Selatan Jawa
Ia juga menyarankan penerapan cara kultur teknis. Meliputi pengaturan waktu tanam dan panen secara serentak antarpetani, rotasi tanaman dengan tanaman palawija, serta pengaturan jarak tanam padi menggunakan sistem jajar legowo.
Dengan pendekatan terpadu yang mengintegrasikan pengendalian hayati, termasuk peran Tyto alba, dengan TBS dan praktik kultur teknis, diharapkan populasi tikus sawah dapat dikendalikan secara lebih efektif dan berkelanjutan.
“Tanpa menimbulkan kerusakan pada ekosistem pertanian,” kata dia. [WLC02]
Sumber: IPB University
Discussion about this post