Wanaloka.com – Sebanyak 2.095 partisipan dari kelompok usia remaja dan dewasa Indonesia direkrut menjadi partisipan untuk uji klinik fase 3 kandidat vaksin Tuberkulosis (TBC) M72. Selain Indonesia, studi global juga dilaksanakan di Afrika Selatan, Kenya, Zambia, dan Malawi.
Uji klinik ini diklaim untuk mengevaluasi keamanan dan efektivitas vaksin M72 dalam mencegah TBC paru pada individu dewasa dengan infeksi TB laten yang tidak terinfeksi HIV. Kandidat vaksin ini telah dikembangkan sejak awal 2000 dan menunjukkan profil keamanan yang baik dalam studi sebelumnya.
Di Indonesia, kegiatan ini dilaksanakan di berbagai institusi medis terkemuka, termasuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), RS Universitas Indonesia (RSUI), RSUP Persahabatan, RS Islam Cempaka Putih di Jakarta, serta Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK UNPAD) di Bandung. Pelaksanaan uji klinik dimulai pada 3 September 2024. Rekrutmen partisipan secara resmi telah selesai per 16 April 2025.
Baca juga: Emerita pangandaran, Temuan Spesies Baru Undur-Undur Laut di Pantai Selatan Jawa
Total partisipan uji klinik fase 3 ini berjumlah 20.081 orang dari lima negara. Afrika Selatan menjadi kontributor terbesar dengan 13.071 partisipan, diikuti Kenya (3.579), Indonesia (2.095), Zambia (889), dan Malawi (447).
Hingga saat ini, terdapat sekitar 15 kandidat vaksin TBC yang sedang dikembangkan secara global. Vaksin M72 disebut telah mencapai fase 3, yakni tahap terakhir sebelum vaksin dapat digunakan secara luas. Pengembangan vaksin ini didukung Gates Foundation dan diharapkan seluruh rangkaian uji klinik selesai pada akhir 2028.
“Uji klinik merupakan tahapan krusial dalam proses pengembangan vaksin untuk memastikan keamanan, efektivitas, serta mengidentifikasi potensi efek samping sebelum digunakan oleh masyarakat,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Kesehatan, Aji Muhawarman.
Baca juga: Ikan yang Ditangkap dengan Bahan Peledak Tak Layak Konsumsi
Proses uji klinik vaksin dilakukan secara bertahap, dimulai dari uji pra-klinik pada hewan. Kemudian fase 1 pada sejumlah kecil partisipan manusia (20–50 orang), fase 2 pada kelompok yang lebih besar (200–300 orang), hingga fase 3 yang melibatkan puluhan ribu partisipan lintas negara. Fase 3 menjadi fondasi utama dalam proses evaluasi regulator sebelum vaksin mendapatkan izin edar.
Seluruh pelaksanaan uji klinik vaksin M72 di Indonesia diawasi secara ketat oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan, serta para ahli vaksin TBC nasional dan global.
Keterlibatan Indonesia dalam riset ini mencerminkan komitmen kuat dalam mendukung upaya global pemberantasan TBC. Penyakit menular ini masih menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia.
Baca juga: Janji Komisi IV DPR, Revisi UU Kehutanan Terbuka hingga Ada Pengakuan Hutan Adat
Desa Siaga TBC
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin resmi meluncurkan program Desa Siaga TBC untuk menanggulangi penyakit TBC yang masih menjadi ancaman serius di Indonesia. Ia menekankan TBC telah menjadi penyakit mematikan sejak ribuan tahun lalu dan telah membunuh lebih dari satu miliar jiwa di seluruh dunia.
Setiap tahun, TBC masih menyebabkan lebih dari satu juta kematian secara global. Ia mengklaim ini setara dengan dua orang meninggal setiap satu menit akibat TBC.
“Di Indonesia, estimasinya ada satu juta orang yang baru tertular setiap tahun, dan 125 ribu di antaranya meninggal dunia. Artinya, setiap empat menit ada satu warga Indonesia meninggal karena TBC,” ujar dia.
Baca juga: Yance Arizona, RUU Masyarakat Adat Masuk Prolegnas 2025 Tapi Perlu Pembaruan Draf Lagi
Sementara TBC merupakan penyakit yang bisa disembuhkan karena obatnya tersedia. Namun, karena penularannya melalui saluran pernapasan seperti Covid-19, pasien yang tidak segera terdeteksi bisa terus menularkan ke orang lain. Deteksi dini menjadi sangat penting.
Budi pun menyampaikan tiga pesan utama kepada para kader kesehatan. Pertama, menemukan seluruh pasien TBC di masyarakat.
“Tahun ini, target kami satu juta kasus TBC bisa ditemukan. Saat ini sudah 800 ribuan. Kader harus bantu temukan sisanya,” kata dia.
Baca juga: GeoAI, Sistem Prediksi Suhu Permukaan Bumi untuk Adaptasi Iklim
Kedua, pasien yang telah terdeteksi harus segera diberikan pengobatan.
“Jangan ditunda. Jangan dirujuk ke rumah sakit, langsung diberi obat. Ini penting agar mereka tidak menularkan ke orang lain,” tegas Budi.
Ketiga, ia mengingatkan pentingnya pengawasan selama masa pengobatan. Pasien TBC memerlukan waktu berbulan-bulan untuk sembuh. Jika pengobatan dihentikan di tengah jalan, pasien bisa menjadi resisten terhadap obat.
Baca juga: BMKG Catat 2024 Jadi Tahun Terpanas
“Kalau resisten, pengobatannya lebih susah dan lebih mahal,” katanya.
Budi berharap kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat, khususnya di wilayah Jakarta, dapat memastikan ketiga tugas ini berjalan baik. Sehingga Jakarta bisa menjadi wilayah pertama yang terbebas dari TBC secara total.
Kepala Kantor Komunikasi Presiden (PCO) Hasan Hasbi menyebut tiga prioritas kesehatan yang menjadi fokus nasional adalah cek kesehatan gratis, pembangunan rumah sakit, dan pemberantasan TBC.
“Ini program Presiden. Tapi tidak bisa jalan tanpa dukungan semua pihak dari RT, RW, Puskesmas, sampai masyarakat luas,” kata dia.
Baca juga: Januari-April 2025, Pengaduan ke Ditjen Penegakan Hukum Kehutanan Capai 90 Kasus
Wakil Menteri Dalam Negeri Ribka Haluk menegaskan pentingnya sinergi antara pusat dan daerah.
“Di tingkat desa, sudah ada komitmen dan anggaran. Di kelurahan juga harus ada, supaya pengendalian TBC berjalan merata,” kata dia.
Sementara Wakil Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Ahmad Riza Patria mengatakan Kementerian Desa (Kemendes) telah mengalokasikan dana desa sebesar Rp400 juta hingga Rp1 miliar per desa. Sebagian dana itu bisa digunakan untuk penanggulangan masalah kesehatan termasuk TBC dan stunting.
Ia mendorong pemerintah kelurahan untuk mengusulkan program serupa bila belum tersedia anggaran.
Baca juga: BNN akan Gandeng BRIN untuk Riset Ganja Medis, LBHM Sampaikan Rekomendasi
Kedaruratan kesehatan masyarakat
Kedaruratan kesehatan masyarakat (KKM) merupakan situasi darurat di luar kondisi normal yang memerlukan respons cepat dan terkoordinasi untuk mencegah krisis kesehatan. Suatu kondisi dapat dikategorikan sebagai KKM menuju krisis kesehatan ketika kapasitas sistem kesehatan tidak memadai. Hal ini ditandai dengan indikator yang menunjukkan penurunan kemampuan sistem secara fungsional.
“KKM terjadi ketika sistem kesehatan terdampak signifikan, sehingga kemampuannya untuk melaksanakan upaya-upaya kesehatan menjadi berkurang,” terang Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Masdalina Pane dalam webinar bertajuk “Pengaruh Disrupsi Ekonomi dalam Penanggulangan Tuberkulosis dan Berisiko Menyebabkan Kedaruratan Kesehatan di Indonesia”, Selasa, 29 April 2025.
Masdalina menjelaskan, dalam satu dekade terakhir telah terjadi beberapa kondisi KKM, baik di tingkat nasional maupun global. Ada Covid-19, monkeypox, dan influenza H1N1pdm09. Ketiga wabah tersebut dikategorikan sebagai Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) atau kondisi KKM yang menjadi perhatian internasional.
Discussion about this post