Wanaloka.com – Sejak tiga bulan terakhir, November 2022-Januari 2023, banjir yang melanda Pati, Jawa Tengah. Tak hanya merendam rumah, tetapi juga ternak dan area persawahan sehingga masyarakat terdampak banjir yang mayoritas petani terancam gagal panen. Akibatnya, ancaman akan krisis pangan dan kesengsaraan bagi petani di depan mata.
Dalam siaran pers tertanggal 17 Januari 2023, perwakilan dari Indonesian Speleological Society (ISS), Petrasa Wacana memaparkan, bahwa berdasarkan data sementara BPBD Pati, bencana banjir 2023 berdampak terhadap 4.559 rumah, lahan sawah seluas 3.807 hektare di tujuh kecamatan.
Kemudian nilai produktifitas berdasarkan Data BPS November 2022 menunjukkan harga gabah (GKP) rata-rata dari petani Rp5.397 per kilogram. Dimana lahan pertanian sawah produktif dapat menghasilkan 3 – 6 ton per hektare. Asumsi rata-rata, jika per hektare 4 ton atau 4.000 kilogram, maka total kerugian sektor pertanian Rp123.278.274.00 atau Rp123,2 miliar.
Baca Juga: Masalah Lingkungan Belum Menjadi Isu Utama Media Massa
Dampak lain dari bencana banjir adalah roda ekonomi masyarakat tersendat akibat jalur-jalur distribusi dan pasar terputus, pelayanan publik terganggu, sarana prasarana publik tidak berfungsi, aktifitas pendidikan terganggu, dan masyarakat harus mewaspadai kemungkinan banjir susulan selama musim hujan.
Atas kondisi tersebut, Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo melalui Kantor Staf Presiden (KSP) di Jakarta pada 17 Januari 2023. Mereka mendesak agar Presiden merespon kejadian bencana banjir yang melanda Pati yang berlangsung tiga bulan terakhir.
Dalam suratnya, JM-PPK menyampaikan kejadian bencana banjir akhir 2022 yang lebih parah dari tahun-tahun sebelumnya, bukanlah tanpa sebab. Lantas, apakah penyebabnya?
Baca Juga: Gempa Besar Mag7,1 Guncang Laut Maluku, Berikut Analisis BMKG
Pertama, sejak 2010, pertambangan di wilayah Pegunungan Kendeng di Pati terjadi secara masif dan terus meluas dari tahun ke tahun. Kawasan karst yang merupakan sebuah ekosistem ditambang secara masif sehingga fungsi resapannya menjadi tidak maksimal. Dampaknya, banjir pun semakin tinggi dan tak terkendali.
Aktivitas tambang yang dilakukan bukan hanya oleh korporasi besar. Melainkan juga korporasi kecil, baik yang berizin maupun tidak.
Kedua, alih fungsi lahan juga terjadi secara besar-besaran sehingga berpengaruh terhadap daerah resapan. Akibatnya, banjir ketika hujan dan kekeringan ketika kemarau. Kondisi tersebut terus membayangi masyarakat sekitar, khususnya petani.
Baca Juga: Gempa Bumi M6,3 di Teluk Tomini Pagi Tadi, Tak Berpotensi Tsunami
Apalagi Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Pati yang disahkan pada April 2021 melegalkan alih fungsi lahan, penggundulan hutan yang kemudian menyebabkan banjir itu. Sebab isi Perda RTRW itu menetapkan semua kecamatan di Pati sebagai kawasan tambang tanpa mempetimbangkan dan mempercayai hasil kajian-kajian ilmiah.
Tambakromo yang ditetapkan menjadi kawasan peruntukan industri adalah salah satu contoh. Padahal dalam dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Pati, Tambakromo merupakan kawasan rawan bencana tingkat tinggi.
Discussion about this post