“Ironi kalau menyebut penenggelaman wilayah adat Danau Poso untuk mengejar perkembangan EBT, tanpa memikirkan jauh risikonya bagi masyarakat,” kata juru bicara Walhi, Dwi Sawung.
Koalisi menengarai, PLTA Poso dibangun bukan untuk kepentingan masyarakat di sana. Jokowi lebih mengutamakan kepentingan korporasi, daripada warga yang selama ratusan tahun menjadikan Danau Poso sebagai sumber kehidupannya. Didukung dengan berbagai fasilitas kebijakan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten, kepentingan korporasi melenggang tanpa mempertimbangkan situasi dan keberlangsungan kehidupan manusia, ekosistem, dan lingkungan. Bahkan mengabaikan pemenuhan hak asasi manusia.
Baca Juga: BMKG Identifikasi Sesar Baru Pascagempa Pasaman Barat
Listrik sebanyak 515 MW tidak mungkin dapat diserap seluruhnya oleh masyarakat di Poso atau pun bagian Sulawesi Tengah lainnya. PLTA Poso dibangun demi menjaga pasokan listrik industri tambang, terutama pemurnian tambang. Listrik yang dihasilkan oleh PLTA Poso, yaitu untuk mendukung industri tambang, terutama pemurnian tambang di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah.
Tuntutan Koalisi Ormas Sipil
Tidak berlebihan, mengingat PLTA Poso milik PT Poso Energy adalah anak usaha Kalla Energy yang merupakan sub-holding dari konsorsium bisnis Kalla Group. Perusahaan ini juga memiliki bisnis smelter untuk pemurnian tambang. Informasi lain juga menyebutkan, bahwa di Sulawesi Tengah telah berdiri 20 pabrik pemurnian tambang yang memerlukan pasokan listrik yang tinggi.
Berdasar catatan potensi daya rusak lingkungan, praktik pelepasan tanah yang dipaksakan, jejak perusahaan dan daftar hitam penerima manfaat PLTA Poso, bukan tanpa sebab Masyarakat Adat Danau Poso menolak hadirnya PLTA Poso.
Baca Juga: Macan Tutul Rasi dan Slamet Ramadhan Diharapkan Berkembangbiak di Gunung Ciremai
Melalui pernyataan sikap bersama ini, koalisi menuntut:
- Presiden harus memastikan hak konstitusional Masyarakat Adat Danau Poso tidak dirampas oleh kepentingan perusahaan dan melindungi serta menjamin pemenuhan hak atas sumber agraria masyarakat.
- Presiden dan Gubernur Sulawesi Tengah harus bertanggungjawab untuk segera menyelesaikan konflik agraria yang selama ini dialami Masyarakat Adat Danau Poso dan perusahaan.
- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk segera mencabut izin PT. Poso Energy secara keseluruhan, diutamakan PLTA I yang telah menggusur, menenggelamkan sawah dan kebun, merusak wayamasapi dan keramba, serta menghilangkan budaya, adat, dan pekerjaan tradisional.
- PT Poso Energy segera tuntaskan masalah-masalah dampak lingkungan, sosial dan ekonomi yang ditimbulkan oleh operasional PLTA Poso seperti penggusuran dan pengerukan sungai.
- Kepala Balai Wilayah Sungai Sulawesi III mengembalikan siklus normal air Danau Poso seperti semula dan menentukan batas sempadan Danau Poso pada 509 Mdpl.
- Pemerintah Daerah untuk melibatkan Masyarakat Adat Danau Poso dalam setiap proses pengambilan kebijakan mengenai danau.
- Komnas HAM bersama Komnas Perempuan segera melakukan investigasi mendalam, terkait operasional PLTA Poso yang menenggelamkan wilayah sekitar Danau Poso sehingga menyebabkan tercerabutnya akar adat, budaya, dan sumber penghidupan Masyarakat Adat Danau Poso dan mengkondisikan lokasi menjadi ruang yang aman dan kondusif bagi seluruh warga, utamanya anak dan perempuan.
Baca Juga: BRIN dan BMKG Rancang Regenerasi Sistem Peringatan Dini Tsunami
Alasan PLTA Dibangun di Poso
Alasan Founder Kalla Group yang juga Wakil Presien ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla menyampaikan, alasan membangun PLTA di sana karena memiliki potensi dalam pengembangan PLTA dengan penggunaan aliran air langsung dari sungai (run of river).
“Kami melihat potensi Poso ini. Ada sungai Poso yang airnya terbuang saja ke laut sehingga kami memutuskan membikin listrik di sini mempergunakan sistem run of river,” ujar Jusuf Kalla.
Selain PLTA Poso, Jokowi juga meresmikan PLTA PT Malea Energy dengan kapasitas 90 megawatt di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Ia juga mengapresiasi pembangunan hydropower oleh Kalla Group di Sulawesi Tengah, maupun di Mamuju dan Kerinci, Jambi.
Baca Juga: Berjemur Membuat Mood Lebih Baik, Mengapa?
Pembangunan PLTA untuk mengejar target pengurangan emisi karbon secara bertahap hingga 2060 mencapai emisi nol karbon. Namun target itu tak mudah dikejar. Perlu ada keseimbangan antara pertumbuhan, permintaan, dan pertumbuhan listrik agar tak terjadi kelebihan pasok dari PLN sehingga membebani PLN.
Jokowi juga meminta ada kemudahan dalam proses negosiasi maupun perizinan sehingga pembangunan PLTA selanjutnya dapat segera terlaksana.
“Jangan sampai ada keluhan lagi seperti tadi juga disampaikan oleh Bapak Jusuf Kalla, negosiasi, perizinan itu sampai lebih dari 5 tahun. Sekuat apapun orang mengurus izin, negosiasi sampai lebih dari 5 tahun kecapaian dalam mengurus izin. Belum bekerja di lapangan,” imbuhnya. [WLC02]
Sumber: walhi.or.id 1 Maret 2022 dan presidenanri.go.id 25 Februari 2022
Discussion about this post