Baca juga: Lagi, Wisatawan Asal Swiss Jatuh di Gunung Rinjani dan Alami Patah Kaki
“Penertiban ini untuk siapa sebenarnya?” Direktur Ekesekutif Walhi Sumatera Barat, Wengky Purwanto mempertanyakan.
Ia menegaskan, hutan seharusnya dipahami bukan sekadar aset legal formal, tetapi sebagai penyangga sistem kehidupan. Hutan memiliki fungsi ekologis, sosial, budaya, bahkan nilai spiritual bagi masyarakat yang menggantungkan hidup darinya.
“Jadi hutan harus dilihat sebagai aset negara yang harus dipulihkan, sebagaimana disebutkan dalam perpres sebagai salah satu sanksi,” ucap dia.
Baca juga: Mailinda Eka Yuniza, Bauran Energi Indonesia Masih Didominasi Energi Fosil
Wengky juga menambahkan, bahwa tipologi sawit dalam kawasan hutan itu sangat beragam sekali. Misalnya di Kabupaten Agam ada PT AMP, perusahaan yang terhubung dengan Wilmar Grup. Sekitar 1500 hektare lahan yang disegel.
Jika dilihat sejarah asal usul lahan, wilayah tersebut merupakan tanah ulayat milik masyarakat adat yang disepakati untuk dibangun kebun plasma. Namun hingga kini tidak pernah diberikan kepada masyarakat.
Ketika Satgas PKH menertibkan 1500 hektar yang dikelola PT AMP, seharusnya penertiban tersebut diikuti dengan pengembalian wilayah kepada pemilik hak ulayat dan mengembalikan fungsi sebagai mana awalnya.
Baca juga: Walhi Maluku Utara Protes Pemutaran Film Ngomi O Obi yang Diduga Alat Propaganda
“Kompleksnya tipologi penguasaan di kawasan hutan ini, memang tidak mampu dijawab dengan Perpres 5 Tahun 2025 yang mesimplifikasi persoalan. Jelas kita membutuhkan UU Kehutanan baru yang mampu menjawab tata kelola hutan Indonesia yang buruk,” tegas Wengky.
Temuan di Sumatra Utara
Bukan hanya tidak menjawab substansi pemulihan, Walhi juga menemukan fakta di lapangan bahwa PT Agrinas melakukan pungutan paksa ke masyarakat. Di Sumatra Utara, wilayah yang selama ini dikuasai PT Torganda, telah dilimpahkan secara diam-diam ke Agrinas. Proses ini berlangsung secara tertutup dan tanpa disertai izin resmi pengelolaan kawasan hutan.
Saat yang sama, konflik lahan yang melibatkan perusahaan dan masyarakat terus berlangsung dan tidak kunjung diselesaikan. Bahkan, muncul oknum yang mengatasnamakan Agrinas dan meminta upeti sebesar Rp400 per kilogram hasil panen sawit.
Baca juga: Berdalih KEK Mandalika, Ratusan Warung Pedagang Tanjung Aan Dibongkar Paksa
Proses pemungutan ini dilakukan secara intimidatif terhadap para kepala desa dengan masuk ke wilayah desa menggunakan pakaian loreng dan membawa nama institusi tersebut.
“Tindakan ini menciptakan ketakutan serta tekanan psikologis di tingkat desa,” kata Direktur Walhi Sumatera Utara, Riandra.
Temuan di Jambi
Hal yang sama juga diungkapkan Manajer Advokasi Kajian Kampanye dan Organisasi Rakyat, Walhi Jambi, Ginda Harahap. PT Agrinas melakukan penyegelan di wilayah tanaman industri. Objek yang disegel satgas berada di area yang masih dalam proses resolusi konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Mendesak UU Kehutanan Lama Dicabut, Diganti UU Kehutanan Baru yang Adil
Penyegelan ini dinilai tebang pilih, karena wilayah yang disegel justru merupakan kawasan yang selama ini telah diproteksi dan sedang dalam tahap penyelesaian konflik. Tercatat 280 hektare lahan telah disegel satgas.
Padahal telah ada surat resmi dari PT Agrinas dan masyarakat sedang menjalani proses sosialisasi terkait kerja sama dengan perusahaan tersebut. PT Agrinas menawarkan skema bagi hasil dengan proporsi 40 persen untuk masyarakat dan 60 persen untuk perusahaan. Namun, seluruh proses pekerjaan ditanggungkan kepada masyarakat, tanpa pembagian tanggung jawab yang adil.
Ginda menyesalkan fondasi cara berpikir yang masih menempatkan kawasan hutan sebagai domain eksklusif negara. Ditambah lagi, penertiban kawasan hutan ini mengedepankan pendekatan militerisme dan hukum dalam menghadapi permasalahan rakyat.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Mendesak UU Kehutanan Lama Dicabut, Diganti UU Kehutanan Baru yang Adil
“Satgas PKH gagal menempatkan diri sebagai alat korektif yang berpihak kepada rakyat. Ia berjalan di bawah bayang-bayang institusi yang selama ini menjadi bagian dari masalah. Tanpa perubahan cara pandang ini, satgas tidak akan mampu menghasilkan solusi yang adil dan berkelanjutan,” tegas Ginda.
Bagi Walhi Jambi, koreksi kawasan hutan bukan semata perkara teknis spasial atau legalisasi status. Melainkan soal keadilan ekologis, sejarah relasi kuasa, dan pemulihan hak masyarakat atas ruang hidup. Upaya koreksi harus dimulai dari pengakuan terhadap masyarakat sebagai pemilik sah kawasan yang telah mereka kelola secara arif selama puluhan bahkan ratusan tahun. [WLC02]
Sumber: Walhi
Discussion about this post