Wanaloka.com – Isi pidato Wakil Presiden Indonesia, Ma’ruf Amin dalam World Leaders Summit Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim COP27 di Mesir pada 7 November 2022 dipertanyakan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Lantaran pidato penting di depan lebih dari 190 pemimpin dunia tersebut alpa memotret kerusakan ekologis hingga krisis iklim yang terjadi di Indonesia.
Berbagai inisiatif berbasis masyarakat lokal dan adat dalam aksi mitigasi dan adaptasi iklim pun luput tersampaikan. Bahkan, klaim Indonesia bahwa perhelatan G20 contoh pemulihan hijau yang inklusif juga patut dipertanyakan. Sepanjang hampir setahun presidensi Indonesia dalam G20, ada upaya meredam aspirasi publik hingga pembatasan kegiatan masyarakat.
“G20 berkesan elitis, eksklusif dan jauh dari persoalan mendasar rakyat,” tegas Kepala Divisi Kajian dan Hukum Lingkungan Walhi Nasional, Puspa Dewi dalam siaran pers Walhi tertanggal 9 November 2022.
Baca Juga: Awas Cuaca Ekstrem, Ribuan Warga Lampung dan Sumut Terdampak Banjir
Sebaliknya, poin-poin pidato Ma’ruf Amin justru dikritisi. Ma’ruf Amin menyampaikan, bahwa berbagai pihak belum mengimplementasikan ambisi aksi iklim pasca COP26 Glasgow.
“Pidato tersebut dinilai sebagai fakta sekaligus ironi,” kata Puspa Dewi.
Ironi karena pemerintah Indonesia juga menjadi bagian dari pihak yang belum secara serius dan ambisius mengimplementasikan aksi iklim. Kebijakan dan aksi iklim Indonesia belum mengarah pada peta jalan pengurangan emisi berdasar rekomendasi berbasis sains.
“Dan masih mengakomodir berbagai solusi palsu,” imbuh Puspa.
Baca Juga: Serba Serbi KTT G20, BMKG Perbarui Aplikasi InfoBMKG
Gagasan mendorong kontribusi semua pihak sesuai kapasitas dengan semangat burden sharing yang disampaikan Ma’ruf Amin perlu diapresiasi. Namun, semangat berbagi beban perlu dikritisi sebagai upaya negara maju menghindari tanggung jawabnya sebagai pihak paling besar kontribusinya pada krisis iklim.
Sementara negara berkembang dan miskin dibiarkan sendirian menanggung beban atas dampak krisis iklim melalui berbagai bencana, seperti siklon tropis, gelompang panas, banjir rob, kekeringan, dan lainnya.
Baca Juga: Konflik Harimau dengan Manusia di Pelalawan, Warga Diimbau Tidak Keluar Malam
Ma’ruf Amin menyebut enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia sebagai salah satu langkah nyata lead by example.
Berdasarkan data Climate Action Tracker (CAT) per November 2022, Indonesia memang termasuk satu dari 25 negara yang memperbaharui NDC. Namun Indonesia tidak termasuk dari empat negara dengan kategori stronger NDC target.
Apabila ingin memimpin dengan memberi contoh, Indonesia seharusnya menguatkan target pengurangan emisi sektoral secara proporsional dengan tidak membebankan kontribusi pengurangan emisi hingga sebesar 60 persen pada sektor kehutanan.
Baca Juga: Yogya, Jabar, Jateng dan Bengkulu Siaga Dampak Hujan Lebat Hari Ini
“Dan strategi FOLU Net Sink 2030 ini rentan ditunggangi skema offset,” jelas Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi, Fanny Tri Jambore.
Yakni skema yang dinilai gagal dalam pengurangan emisi GRK. Sebab entitas negara dan korporasi tetap dibiarkan melepas emisi dari sumber mereka dengan membeli stok karbon yang masih terjaga di tempat lain. Skema penyeimbangan karbon semacam ini tidak akan mampu menurunkan emisi dan menahan suhu bumi di bawah 1,5 celcius.
Alih-alih menurunkan emisi, justru akan terus memperpanjang operasi industri ekstraktif dan penggunaan bahan bakar fosil. Perhitungan emisi global mengindikasikan kegagalan skema offset dalam mengurangi emisi pada sumbernya. Di mana lebih dari 59 miliar ton CO2e emisi (carbon dioxide equivalent) alias jejak karbon masih terus dilepaskan ke atmosfer setiap tahun.
Baca Juga: Banjir Aceh Tamiang, Seratus Ribuan Warga Mengungsi 43 Kampung Terisolir
“Klaim penerapan pajak karbon oleh pemerintah Indonesia juga gimmick semata,” ujar Fanny.
Discussion about this post