Solusi Palsu Perubahan Iklim
Sejumlah kebijakan yang terjebak dalam solusi palsu untuk mengatasi perubahan ikim justru diterapkan pemerintah Indonesia. Apa sajakah itu?
Pertama, pemerintah justru melanggar regulasi dengan menunda pemberlakuan pajak karbon hingga 2025. Penundaan penerapan pajak karbon telah terjadi berulang kali dari rencana pemberlakuan terhitung per 1 April 2022 sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Baca Juga: Ini Waktu dan Wilayah Saksikan Gerhana Bulan Total Hari Ini
Apabila diterapkan, dengan perhitungan hanya senilai Rp30 per kilogram CO2e, pajak karbon masih terlalu longgar untuk digunakan sebagai instrumen efektif menurunkan emisi.
Kedua, ekosistem kendaraan listrik tengah digalakkan di Indonesia. Sementara situasi pembangkit listrik masih didominasi energi fosil dan ratusan ribu hektare kawasan ekosistem esensial telah dan akan mengalami kehancuran akibat pertambangan nikel.
“Maka proyek kendaraan listrik bukanlah agenda transisi energi yang berkeadilan,” kata Fanny.
Saat ini, 80 persen pembangkit listrik masih berbasis energi fosil, sehingga emisi yang akan dihasilkan, terutama untuk pengisian baterai kendaraan listrik masih sangat tinggi.
Baca Juga: Kisah Megaloman, Orangutan Sumatera Kembali ke Habitatnya
Ketiga, Indonesia telah kehilangan banyak ekosistem penting akibat pemberian konsesi pertambangan nikel yang menjadi bahan baku utama industri baterai kendaraan listrik. Diperkirakan 900 ribu hektare lahan telah diberikan untuk izin pertambangan nikel. Lebih dari 600 hektare di antaranya berada dalam kawasan hutan.
Pada 2021, diperkirakan angka deforestasi akibat pertambangan nikel sudah melampaui 40 ribu hektare. Apabila seluruh kawasan yang diberikan izin pertambangan nikel dilakukan perubahan fungsi lahan, diperkirakan ada pelepasan emisi sebesar 83 juta ton CO2e.
Terkait kerjasama dan pendanaan transisi energi yang disebut pemerintah akan digunakan dalam penciptaan pasar karbon yang efektif dan berkeadilan, investasi transisi energi dan pendanaan untuk aksi iklim, Walhi mengingatkan seluruh mekanisme yang telah dan akan dikembangkan harus memastikan transisi energi tidak jatuh pada jebakan solusi palsu. Yakni solusi yang kurang efektif menurunkan emisi, memperpanjang umur penggunaan bahan bakar fosil, merusak lingkungan dan merampas hak masyarakat.
Baca Juga: Pengelolaan Komunitas Adat Diapresiasi, Hak Masyarakat Adat Jauh Panggang dari Api
Solusi palsu transisi energi di Indonesia nampak mulai dari penggunaan sumber energi yang jelas tidak terbarukan dan berisiko tinggi. Sebut saja seperti batu bara cair, gasifikasi batubara, nuklir, serta hidrogen dan amonia yang diproduksi dari bahan bakar fosil-fosil.
Solusi palsu lain berupa pembangunan proyek energi yang dalam pengelolaan tidak ramah lingkungan, merampas wilayah kelola rakyat, melanggar HAM, dan secara daur hidup tidak memberikan perbaikan yang signifikan terhadap penurunan karbon.
Keempat, terkait dengan kebijakan perluasan kawasan konservasi yang disampaikan Ma’ruf Amin, Walhi menilai kebijakan ini tidak berarti apapun ketika pemerintah Indonesia dan DPR mengesahkan dua undang-undang, yaitu UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara dan serta UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Baca Juga: Serba Serbi KTT G20, Ikut Merasakan Berkah Akses Jaringan 5G
“Kedua UU ini sedang dan akan memperluas krisis ekologis, alih-alih memperbaiki kualitas lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat,” kata Fanny.
Kelima, salah satu kebijakan konservasi yang didorong pemerintah adalah perluasan konservasi laut yang ditargetkan mencapai 32,5 juta hektare pada 2030. Pemerintah mengklaim, kebijakan perluasan konservasi laut telah menghasilkan luasan 28,1 juta hektare pada 2021. Target 32,5 juta hektare tidak akan tercapai mengingat pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Bidang Kelautan dan Perikanan.
Baca Juga: Ada Gula Merah, Ada Gula Semut
Pasal 3 sampai 7 PP Nomor 27 Tahun 2021 menyatakan zona inti di Kawasan Konservasi Nasional boleh diubah untuk kepentingan proyek strategis nasional. Selain itu, kebijakan perluasan konservasi laut tidak akan berhasil selama tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama dalam mengelola sumber daya pesisir dan laut di Indonesia.
“Artinya, pendekatan konservasi top-down yang selama ini dijalankan pemerintah hanya akan mengusir kehidupan masyarakat dari ruang hidupnya,” jelas Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi, Parid Ridwanuddin. [WLC02]
Discussion about this post