Wanaloka.com – Ekonomi biru bukanlah solusi untuk tata kelola laut di Indonesia, mengingat secara mendasar laut di Indonesia masih diposisikan menjadi ruang kompetisi terbuka (mare liberum). Doktrin mare liberum atau laut bebas yang digagas ahli hukum Belanda, Hugo de Groot alias Hugo Grotius, kemudian dipadukan dengan ekonomi pasar modern justru mendorong terjadi eksploitasi sumber daya laut secara berlebih.
Doktrin mare liberum menjadi dasar dari konsep laut sebagai open acces. Di mana laut diposisikan menjadi ruang kompetisi antara nelayan atau masyarakat dengan industri skala besar, kontrol dan akses tidak diberikan kepada masyarakat pesisir, siapa pun yang memiliki power dapat mengeksploitasi sumber daya di wilayah tersebut.
Dalam situasi ini, ruang tangkap nelayan tradisional tidak mendapatkan pengakuan, terutama dalam peraturan perundangan. Pemerintah lebih memprioritaskan untuk memberi akses terbuka kepada siapa pun atas dasar siapa kuat (secara finansial).
Baca Juga: Christopher Stremme: EEHV Jadi Penyebab Kematian Misterius Anak Gajah
“Kondisi ini mengakibatkan tragedi kepemilikan bersama (tragedy of the commons),” kata Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Parid Ridwanuddin dalam diskusi publik mengenai The Commons dan Blue Economy yang digelar Social Research Center (Sorec) Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerja sama dengan Tranparency International (TI) Indonesia pada 14 September 2023.
Asal-usul Ekonomi Biru
Saat ini, Walhi sedang menulis buku berjudul “Ekonomi Biru versus Ekonomi Nusantara” bersama Muhammad Karim, seorang akademisi kelautan dan perikanan. Dalam buku disebutkan bahwa jauh sebelum Guntter Pauli mempopulerkan ekonomi biru (blue economy) pada tahun 2010, ekonomi berlabel warna-warni sudah pernah dikupas Johan Galtung seorang pemikir radikal terkemuka. Ia mengulas dalam bukunya berjudul Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization, tahun 1996.
Galtung mengelompokkan sejumlah aliran pemikiran ekonomi bersimbolkan warna-warna di dunia ini. Ia memulainya dengan aliran tiga warna dasar yaitu: merah, biru dan hijau. Pertama, warna biru merepresentasikan ekonomi kapitalis berintikan pasar dan modal. Kedua, warna merah melambangkan ekonomi sosialis yang bertumpu pada kuatnya peran negara dan kekuasaan. Ketiga, warna hijau mewakili ekonomi negara-negara dunia ketiga yang sedang berkembang, dan bersendikan masyarakat sipil (civil society) dan dialog.
Baca Juga: PSN Pulau Rempang, Ombudsman Sebut Ada Potensi Maladministrasi
Di tangan Gunter Pauli, ekonomi biru didefinisikan menjadi model bisnis yang terinspirasi dari alam dengan cara melakukan inovasi dalam memanfaatkan sumberdaya dan produk limbah untuk menciptakan 100 juta hingga lapangan kerja hingga 2020, menghasilkan tambahan keuntungan bisnis (revenue) dan mencapai zero emisi dunia pada tahun 2050.
Walhi mencatat, sampai saat ini telah ada delapan definisi mengenai ekonomi biru yang berkembang. Konsep ini bercampur dengan blue growth, marine economy, dan ocean economy, yang jumlahnya cukup banyak.
“Terdapat dua poin utama dalam konsep ekonomi biru, yaitu mendorong pertumbuhan industri, sekaligus arah pembangunan yang memprioritaskan investasi swasta,” kata Parid.
Baca Juga: Yonvitner: Mangrove Ibarat Ibu yang Diperlukan untuk Mengasuh Banyak Anak
Satu hal yang tak kalah penting diperhatikan dalam ekonomi biru ini adalah ekonomi biru sangat bias negara-negara utara (global north) yang selama ini menjadi kontributor utama emisi global dan mengeksploitasi sumber daya laut dunia.
Ekonomi Biru di Negara Lain
Draf buku itu juga menyampaikan pengalaman penerapan ekonomi biru sekaligus menggarisbawahi dampaknya di berbagai negara. Di Zanzibar, Tanzania, dan Chile, ekonomi biru melahirkan diskriminasi gender yang meminggirkan partisipasi perempuan dalam tata kelola perikanan melalui ketidakadilan prosedural pada perikanan skala kecil.
Selanjutnya, di negara Palau dan Pohnpei, ekonomi biru menyebabkan tragedi komoditas yang menyebabkan tingkat depresi stok teripang, masyarakat pesisir kehilangan hak kelola, kesenjangan dan kemiskinan meningkat serta krisis ekologi, dan perubahan iklim kian massif. Di Papua Nugini, ekonomi biru terbukti menggerus makna geo-spiritual masyarakat pulaunya, mengganggu keberlanjutan mata pencaharian masyarakat pulau, degradasi sumber daya alam dan kerusakan ekologi pulau kecil.
Baca Juga: Pemerintah Pilih Kebijakan Ekonomi Ekstraktif, Untung Tapi Merusak Lingkungan
Sementara di Namibia, ekonomi biru hanya menjadi justifikasi proyek-proyek pertambangan laut dalam, mendorong degradasi lingkungan dan dampak sosial yang negatif, utamanya terhadap mata pencaharian dalam sektor perikanan Namibia. Di Seychelles, sebuah negara Afrika di Samudera Hindia, ekonomi biru menyebabkan industri perikanan tunanya dikuasai armada Uni Eropa serta perikanan skala kecil hingga masyarakat adat terpinggirkan.
Ekonomi Biru di Indonesia
Dalam kekacauan konseptual dan bias kepentingan negara-negara utara, ekonomi biru dikampanyekan pemerintah Indonesia dalam berbagai forum internasional, sekaligus diarusutamakan dalam pembangunan ekonomi kelautan. Khususnya dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
Discussion about this post