Wanaloka.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan menolak tegas rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Batang yang berada di bawah inisiatif Asia Zero Emission Community (AZEC). Penolakan ini bukan sekadar reaksi terhadap satu proyek, melainkan bentuk perlawanan terhadap pola pembangunan yang terus mengabaikan hak-hak masyarakat, merusak ekosistem, dan melanggengkan ketergantungan pada energi fosil atas nama transisi.
Pada Agustus 2024, melalui Pertemuan Tingkat Menteri AZEC yang ke-2 (2nd AZEC Ministrial Meeting) Electric Power Development Co.,Ltd. (J-POWER), PT Adaro Power, dan ITOCHU Corporation mengumumkan akan melakukan studi kelayakan untuk mengembangkan Combined Cycle Gas Turbine (CCGT) atau Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) di Jawa Tengah.
Meskipun tidak secara langsung menyebut di mana lokasi persis proyek akan dilangsungkan, profil proyek menunjukkan PLTGU ini akan dibangun bersebelahan dengan PLTU Batang, di Kabupaten Batang, Jawa Tengah.
Baca juga: Perdagangan Biawak Diperbolehkan, Tapi Jangan Merusak Ekosistem
PLTGU Batang
PLTGU Batang bukanlah proyek yang berdiri sendiri. Perusahaan yang tengah melakukan feasibility study untuk PLTGU Batang, yakni J-POWER, PT Adaro Power, dan ITOCHU Corporation adalah entitas sama yang membangun PLTU Batang melalui PT Bhimasena Power Indonesia. Perencanaan dan operasi oleh perusahaan ini di PLTU Batang sejak 2011, tidak memberi ruang penuh adanya partisipasi bermakna dari masyarakat.
“Bahkan gagal melakukan mitigasi menyeluruh terhadap dampak sosial dan lingkungan dan telah memberikan dampak serius kerusakan terhadap kawasan yang penting secara ekologis dan ekonomi,” kata Direktur Eksekutif Walhi, Boy Jerry Even Sembiring.
Pembangunan PLTU Batang mengorbankan 226 hektare lahan, mayoritas adalah sawah dan perkebunan yang menjadi tumpuan hidup petani. Nelayan Roban Timur yang dulu hanya membutuhkan waktu 30 menit untuk melaut dan membawa pulang hasil tangkapan yang cukup untuk menghidupi keluarga, kini harus menempuh perjalanan 3–4 jam dengan konsumsi bahan bakar yang jauh lebih tinggi, sementara hasil tangkapan terus menurun.
Baca juga: Satwa Liar Masuk Permukiman, Sinyal Keseimbangan Alam Hutan yang Terganggu
Karang Preketek yang dahulu menjadi rumah bagi berbagai jenis ikan dan biota laut, telah berubah menjadi jetty industri. Lumpur hasil pengerukan untuk pembangunan jetty dibuang ke perairan sekitar, menutup habitat ikan dan merusak ekosistem. Lumpur buangan ini sering tersangkut pada jaring nelayan, menyebabkan jaring rusak atau tak bisa diangkat, menambah beban kerugian yang mereka alami.
Abrasi pesisir juga semakin parah akibat perubahan arus laut yang dipicu pembangunan jetty PLTU yang mengarahkan arus ke pesisir. Vegetasi pantai seperti Ketapang (Terminalia catappa) dan Cemara Laut (Casuarina equisetifolia) menghilang karena abrasi yang mengikis daratan dan penebangan pohon di lokasi pembangunan PLTU.
Air laut pun tercemar akibat tumpahan batu bara dari tongkang saat bongkar muat serta dari air penyemprot batu bara yang terbuang ke laut. Ditambah lagi polusi udara dari pembakaran batu bara telah meningkatkan risiko kesehatan masyarakat, sementara lahan pertanian dirampas tanpa proses partisipatif yang adil. Jika perusahaan yang sama yang membangun dan menjalankan proyek semacam ini kembali membangun proyek baru, maka besar kemungkinan pola pengabaian dan perusakan akan terulang.
Baca juga: DIY Siapkan Tiga TPST untuk Kelola Sampah Menjadi Energi Listrik
Kini, proyek PLTGU ini diklaim sebagai bagian dari transisi energi. Namun, pengalaman dari proyek serupa seperti Jawa-1 LNG-to-Power di Cilamaya menunjukkan PLTGU bukanlah solusi yang bersih dan adil. Alih fungsi lahan produktif, gangguan terhadap wilayah tangkap nelayan, penurunan kualitas lingkungan laut, serta risiko kecelakaan akibat pemasangan pipa gas adalah dampak nyata yang telah dirasakan oleh masyarakat.
Operasi Floating Storage and Regasification Unit (FSRU) dan pembuangan air regasifikasi berpotensi menurunkan suhu air laut dan mengganggu zona tangkap ikan. Jika PLTGU menggunakan pipa darat dari ladang gas sekitar, potensi bahaya ledakan, kebakaran, dan pencemaran juga bisa terjadi. Kebocoran dan ledakan pipa gas, seperti yang terjadi di Peninsular Malaysia pada April 2025, menunjukkan bahwa risiko terhadap keselamatan warga sangat nyata dan tidak bisa diabaikan.
Narasi ‘energi transisi’ menyesatkan
Walhi menolak narasi yang dibangun inisiatif AZEC yang mempromosikan gas sebagai ‘energi transisi’.
“Narasi ini menyesatkan dan berisiko normatif, karena mengaburkan kenyataan bahwa gas adalah bagian dari energi fosil yang tetap menghasilkan emisi gas rumah kaca, bukan energi terbarukan yang sejati,” papar Boy.
Baca juga: Air Hujan antara Ancaman Mikroplastik dan Solusi Krisis Air Masa Depan






Discussion about this post