“Tetap tenang dan tidak panik,” kata Zullies.
Baca Juga: Banjir Trenggalek, Satu Orang Meninggal Dunia dan Ribuan Rumah Terendam
Masyarakat disarankan mengikuti saran lembaga resmi pemerintah, seperti Kemenkes, BPOM, asosiasi dokter dan lainnya untuk menghindari konsumsi obat bentuk sirup hingga diperoleh hasil yang lebih pasti.
Apabila anak-anak mengalami sakit demam, batuk, maupun pilek, sebaiknya mengonsumsi obat parasetamol dalam bentuk puyer, kapsul, tablet, suppositoria (melalui dubur) atau bentuk lainnya. Untuk mengurangi rasa pahit bisa ditambah pemanis yang aman bagi anak. Juga selalu mengonsultasikan efek penggunaan obat sirup dengan dokter maupun apoteker.
“Meskipun imbauan tidak menggunakan obat berbentuk sirup itu keputusan dilematis,” kata Zullies.
Baca Juga: Lepas dari Jerat, Siti Reuko Kembali Mengaum di Hutan Sangir Aceh
Mengingat obat berbentuk sirup banyak digunakan anak-anak yang belum bisa menelan obat bentuk tablet atau kapsul. Penghentian penggunaan obat sirup akan berdampak bagi anak-anak penderita penyakit kronis yang harus minum obat rutin berbentuk sirup. Apalagi penggunaannya selama ini tidak menimbulkan efek samping membahayakan. Misalnya, anak dengan epilepsi yang harus minum obat rutin. Ketika obatnya dihentikan atau diubah bentuknya bisa menjadikan kejangnya tidak terkontrol.
Menurut Zullies, saat ini risiko terjadinya gagal ginjal akut dianggap lebih besar dengan penggunaan obat sirup sehingga disarankan penghentiannya. Namun semestinya diatur secara bijaksana.
“Dengan mempertimbangkan risiko dan manfaat. Bukan digebyah uyah (disamaratakan) ya,” tukas Zullies. [WLC02]
Sumber: Universitas Gadjah Mada
Discussion about this post