Wanaloka.com – Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat ada 106 konflik agraria terkait pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Proyek Strategis Nasional (PSN) sejak 2016 yang ditangani 18 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dalam kurun waktu 2016-2023. Waktu tujuh tahun tersebut ditetapkan berdasarkan pelaksanaan. Akibatnya lebih dari satu juta rakyat menjadi korban.
“Luas wilayah yang berkonflik sekitar 800 ribu ha dengan jumlah korban lebih dari satu juta rakyat. Baik petani, masyarakat adat, pembela hak asasi manusia dan pejuang lingkungan mengalami kekerasan fisik, non-fisik, dan kriminalisasi,” kata Direktur YLBHI M. Isnur dalam siaran pers terkait peringatan Hari Tani Nasional pada 24 September 2023.
Konflik agraria yang dimaksud didominasi konflik di sektor perkebunan sebanyak 42 kasus, sektor pertambangan 37 kasus, konflik PSN 35 kasus. Konflik di sektor perkebunan terjadi karena warisan ketimpangan penguasaan lahan yang tidak pernah terselesaikan serta melibatkan dua aktor yang kuat, yaitu negara melalui perkebunan PTPN dan swasta memiliki HGU skala luas. Sedangkan konflik sektor PSN menempati posisi ketiga karena negara beserta kekuatan represif tampil sebagai pemain utama dalam konflik.
Baca Juga: Ini Pemicu Gempa Simeulue Aceh 5,3 Magnitudo
Kemudian subjek pelaku yang dipetakan dalam konflik meliputi perusahaan swasta yang terlibat sebanyak 100 konflik, pemerintah daerah ada 74 konflik, dan Polri ada 50 konflik. Keterlibatan perusahaan swasta yang tinggi disebabkan beberapa faktor.
Pertama, warisan penguasaan HGU yang masih didominasi swasta ditambah dengan pemberian HGU baru, khususnya perkebunan sawit. Kedua, peningkatan industri ekstraktif karena kemudahan perizinan, berkelindan kepentingan bisnis tambang dan politik, dan korupsi perizinan. Ketiga, keterlibatan perusahaan swasta sebagai penunggang gelap PSN. Sedangkan, pemda dan Polri berada di posisi paling depan menghadapi konflik yang selalu menggunakan pendekatan keamanan dan kekerasan.
Dari segi perbuatan, tercatat ada 134 tindak kekerasan yang dipetakan dalam tiga pola berbeda. Pertama, pola kekerasan dalam bentuk lisan seperti intimidasi dan bentuk fisik seperti penganiayaan hingga penyiksaan. Pola ini tercatat sebanyak 48 kasus (40 intimidasi dan 8 kekerasan fisik). Kedua, pola pecah belah dengan 43 kasus. Ketiga, kriminalisasi dengan 43 kasus.
Baca Juga: Sri Nurdiati: Konsep Pemodelan Matematis Lebih Akurat Prediksi Potensi Karhutla
Biasanya, ketiga pola tersebut diterapkan secara bertahap. Semisal diawali dengan ancaman penggusuran paksa dan ancaman kriminalisasi. Kemudian meningkat pada kekerasan dan kriminalisasi. Selanjutnya, warga yang dikriminalkan menjadi alat negosiasi hingga terjadi perpecahan masyarakat, pro dan kontra.
Dari 43 kasus kriminalisasi, terdapat 212 orang petani yang menjadi korban. Upaya kriminalisasi paling banyak menggunakan produk hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan 29 kasus. Kemudian UU Minerba ada 7 kasus, UU Nomor 39 Tahun 2014 ada 4 kasus, UU Nomor 18 Tahun 2013 ada 3 kasus, UU ITE ada 2 kasus, dan UU Anti Marxisme-Leninisme dengan 1 kasus.
YLBHI juga menyoroti upaya kriminalisasi petani dalam agenda PSN yang berada di wilayah 18 LBH Kantor. Terdapat 35 titik PSN menelan 35 korban petani yang dikriminalisasi. Para korban dari petani ini berasal dari 5 provinsi/kota, yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat, Padang, Makassar, dan Manado.
Baca Juga: Walhi Jateng Desak Penghentian TPA Open Dumping untuk Kurangi Potensi Kebakaran
Kriminalisasi terbanyak dalam proyek PSN terjadi di Jawa Tengah (10 kasus) dan Padang (10 kasus). Di Jawa Tengah, enam warga Pegunungan Dieng dikriminalisasi oleh PT Geo Dipa, sebuah perusahaan Geothermal yang sedang membangun proyek pembangkit listrik panas bumi di Dieng. Sedangkan empat warga di Batang dikriminalisasi oleh PT BPI dalam penolakannya terhadap PLTU Pesisir Batang. Sedangkan di Padang, kriminalisasi dilakukan oleh PT Hitay Daya Energy dengan membungkam penolakan petani lereng Gunung Talang terhadap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi. Ditambah dengan 6 orang petani Bidar Alam yang saat ini di tahan Polres Solok Selatan yang dituduh mencuri di tanah sendiri
Dilihat dari dasar hukum kriminalisasinya, hampir semuanya didasari oleh produk hukum KUHP. Pertama, Pasal 362 yang memuat delik pidana “pencurian”. Kedua, Pasal 333 yang memuat delik pidana perampasan kemerdekaan orang lain. Ketiga, Pasal 170 yang memuat delik pidana kekerasan terhadap orang atau barang. Keempat, Pasal 154a yang memuat delik penodaan lambang negara. Kelima, pasal 406 yang mengatur delik pengrusakan properti orang lain. Terakhir adalah Pasal 27 UU ITE yang memuat delik pencemaran nama baik.
“Negara melakukan tindakan represif dan penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force) terhadap warga yang mempertahankan tanah, air dan ruang hidupnya melalui aparat negara yakni TNI dan Polri,” papar Isnur.
Discussion about this post