Sonni juga mengingatkan dampak khas musim kemarau tetap perlu diwaspadai.
“Kekeringan dapat menyebabkan peningkatan suhu udara dan penurunan kelembapan udara karena kurangnya evaporasi air dari permukaan tanah dan tanaman,” ujar dia.
Ia juga menyebut dalam musim kemarau, selalu potensi peningkatan partikel debu dan polutan. Akibatnya, terjadi penurunan kualitas udara, serta risiko kesehatan seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), khususnya di daerah perkotaan.
Baca juga: Kongres ILC di Bali, Indonesia Target Eliminasi Kusta di 11 Daerah
Untuk upaya mitigasi, Sonni merekomendasikan penggunaan transportasi umum untuk mengurangi polusi, konservasi tanah dan air, serta penggunaan tanaman tahan kekeringan. Ia juga menekankan bahwa fenomena seperti sunspot memiliki siklus 11 tahunan, sehingga pola cuaca seperti ini bisa berulang di masa depan.
Meski curah hujan lokal mungkin terjadi selama kemarau 2025, Sonni menegaskan bahwa masyarakat dan pemerintah tetap perlu siaga. Status siaga kekeringan yang ditetapkan BNPB bukan tanpa alasan.
“Fenomena sunspot memang memberi kemungkinan hujan, tapi sifatnya tidak merata dan tidak menjamin wilayah-wilayah terdampak akan terbebas dari kekeringan,” jelas dia. [WLC02]
Sumber: IPB University
Discussion about this post