Wanaloka.com – Peristiwa banjir bandang yang melanda Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT) pada September 2025 menjadi perhatian serius. Meski terjadi di tengah musim kemarau, banjir bandang ini disebabkan hujan ekstrem dengan intensitas lebih dari 300 mm dalam sehari, sebagaimana dilaporkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Fenomena tersebut memunculkan pertanyaan mengenai kesiapan tata ruang, infrastruktur, dan masyarakat dalam menghadapi cuaca ekstrem yang semakin sulit diprediksi.
Guru Besar Bidang Geomorfologi Lingkungan dari Fakultas Geografi UGM Prof. Djati Mardiatno mengatakan saat ini sudah memasuki masa pancaroba atau transisi dari musim kemarau menuju penghujan. Banjir bandang yang terjadi di Bali dan NTT menurut dia dipicu kombinasi hujan ekstrem dan berkurangnya tutupan lahan.
Baca juga: Komisi III DPR Desak Penegak Hukum Usut Aktor Besar Tambang Ilegal di Manokwari
“Berkurangnya hutan yang berubah menjadi area terbangun membuat air hujan lebih banyak menjadi aliran permukaan daripada masuk ke dalam tanah. Aliran permukaan yang besar inilah yang dapat memicu banjir bandang,” jelas dia, Rabu, 17 September 2025.
Djati menilai tantangan terbesar penanganan banjir bandang adalah luasnya wilayah terdampak serta banyaknya objek vital di perkotaan yang rentan. Ia menekankan perlunya solusi jangka panjang berupa penataan tata ruang.
“Harus memperbanyak ruang terbuka hijau agar air hujan bisa meresap ke tanah, membatasi konversi lahan hutan, serta memastikan sungai tidak tersumbat sampah agar saluran air berfungsi optimal,” imbuh dia.
Baca juga: Pourfect 60, Permudah Barista Menyeduh Kopi V60 secara Efisien dan Konsisten
Hal senada disampaikan Pakar Perencanaan Kota Fakultas Teknik UGM, Prof. Bakti Setiawan. Ia menegaskan banjir tidak hanya dipicu faktor alam, melainkan juga ulah manusia.
Bahwa ada faktor eksternal berupa perubahan iklim, tetapi ada juga faktor internal yaitu tata ruang dan perkembangan kota yang tidak terkontrol.
“Jadi tantangan utamanya adalah penataan ruang dan kota yang lemah dalam mengantisipasi risiko bencana,” ujar dia.
Baca juga: Jangan Diam Melihat Kerusakan Lingkungan agar Dampak Karhutla Tak Meningkat
Bakti menilai solusi ke depan harus berupa tata ruang dan pengendalian perkembangan kota yang berbasis pada pengurangan risiko bencana. Selain itu, ketangguhan komunitas menjadi kunci.
Peningkatan ketangguhan warga melalui penguatan social capital, baik secara struktural maupun kultural, perlu dilakukan agar masyarakat lebih siap menghadapi bencana.
Kedua pakar sepakat bahwa menghadapi cuaca ekstrem, peran pemerintah, akademisi, dan masyarakat harus berjalan seiring. Pemerintah daerah dituntut menyiapkan rencana kontinjensi dan menegakkan tata ruang, sementara akademisi berkontribusi melalui riset, pemetaan, dan sosialisasi.
Baca juga: Draw the Line Jogja Desak Presiden Realisasikan Janji Transisi 100 Persen Energi Terbarukan 2035
Di sisi lain, masyarakat diharapkan meningkatkan kesiapsiagaan dengan langkah sederhana seperti membuat sumur resapan, biopori, menjaga ruang terbuka hijau, serta disiplin tidak membuang sampah ke sungai.
Dengan tata ruang yang terkendali, kebijakan berbasis mitigasi, dan komunitas yang tangguh, risiko bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang dapat ditekan. Sebab, bencana bukan hanya persoalan alam, melainkan juga cerminan bagaimana manusia mengelola ruang hidupnya.
Siaga bencana hidrometeorologi







Discussion about this post