“Saya sempat kaget, karena saya berpikir… ini ada izinnya, kan? Kok, kami dikejar-kejar seperti buronan. Kalau ada izinnya, harusnya enggak apa-apa orang mau melihat sedikit. Masa enggak boleh?” kata Angela yang mengaku terus dikejar sampai kapalnya berada di luar batas pulau.
Baca juga: Presiden Hanya Cabut Izin Tambang Empat Perusahaan di Raja Ampat
Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Ahmad Aris mengatakan, bahwa semua pulau yang dilaporkan dalam laporan Greenpeace Indonesia bukan hanya masuk kategori pulau kecil, tetapi pulau sangat kecil (tiny island). Pulau-pulau ini dilindungi peraturan dari kegiatan yang sifatnya eksploitatif.
“Pulau-pulau kecil bentang alamnya sebagian besar diisi laut, sehingga kegiatan eksploitatif, seperti tambang nikel, berpotensi mengubah hingga merusak bentang alam yang ada di pulau tersebut,” kata Ahmad Aris yang bergabung secara daring.
Dalam paparannya, Kepala Satuan Tugas Korsup Wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dian Patria juga menyoroti berbagai tantangan tata kelola pertambangan di Indonesia. Terkait indikasi temuan kerugian negara yang dirasakan akibat ekspansi tambang nikel, Dian menekankan tentang besarnya kerugian tak kasat mata dibandingkan kerugian materiil.
Baca juga: Legislator Dapil Papua Desak Tertibkan Izin Tambang dan Hormati Masyarakat Adat Papua
“Kalau kita bicara kerugian (akibat nikel), kita dapat berapa sih sebenarnya? Dibandingkan dengan memulihkan karang, lingkungan yang rusak, itu mungkin nggak seberapa. Bagi saya, rasanya (kerugian materiil) mungkin tidak sebanding kalau kita bicara tentang dampak lingkungan, dampak sosial, dan sebagainya ya,” ucap Dian.
Pernyataan ini menegaskan kembali pentingnya mempertanyakan harga sebenarnya dari industri nikel yang selama ini digadang-gadang sebagai keran investasi.
Sementara Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho mengapresiasi aksi Greenpeace Indonesia yang telah menggugah publik untuk ikut mendesak pemerintah Indonesia agar membenahi sektor penegakan hukum lingkungan.
“Yang perlu dibenahi adalah proses terkait pengawasan, terutama izin-izin yang dikeluarkan. Ini adalah momen yang bagus. Ketika kontrol sosial dari kawan-kawan sangat kuat, ini adalah langkah-langkah korektif yang dapat kami ambil ke depannya,” kata dia.
Baca juga: Steven Solikin, Laut Semakin Gelap dan Risiko Kompetisi Predator Meningkat
Surga yang hilang
Dilansir dari laporan berjudul “Surga yang Hilang? Bagaimana Pertambangan Nikel Mengancam Masa Depan Salah Satu Kawasan Konservasi Paling Penting di Dunia”, bahwa Raja Ampat terkenal dengan pulau-pulaunya yang tropis, perairan yang kaya akan kehidupan laut, formasi karst dan hutan yang masih asri. Kawasan ini telah menjadi destinasi impian bagi para wisatawan Indonesia serta penyelam dari seluruh dunia.
National Geographic dan The New York Times telah memasukkan Raja Ampat dalam daftar destinasi teratas untuk tahun 2025, sementara CNN Travel menyebutnya sebagai Surga Terakhir di Bumi. Di dalam negeri, Raja Ampat dijuluki sebagai destinasi wisata unggulan dan terfavorit Indonesia. Salah satu lokasi yang terkenal pemandangannya adalah Piaynemo yang disebut ‘Tangga Jokowi’ karena pernah didaki Presiden Joko Widodo.
Sementara menurut para pakar konservasi, Kepulauan Raja Ampat dan pesisir Pulau Papua merupakan jantung segitiga terumbu karang dan dianggap sebagai pusat keanekaragaman hayati laut.
Baca juga: Temuan Kementerian Kehutanan, Tiga Perusahaan Menambang di Kawasan Hutan Raja Ampat
Raja Ampat juga menjadi rumah bagi komunitas masyarakat adat Papua yang telah hidup di kawasan ini selama beberapa generasi. Komunitas ini hidup selaras dengan adat dan tradisi mereka yang sangat erat hubungannya dengan ekosistem laut dan hutan pesisir di wilayah ini.
“Hutan adalah ibu kami, yang harus kami rawat dan jaga, agar ia terus memberikan kehidupan dari generasi ke generasi. Laut kami hormati seperti ayah kami. Ia memberikan berkah yang melimpah untuk kehidupan terus-menerus sampai Tuhan datang,“ kata Ketua Dewan Adat Suku Maya, Kristian Thebu mewakili salah satu komunitas pertama yang mendiami Raja Ampat.
Seiring dengan meningkatnya popularitas Raja Ampat, meningkat pula berbagai ancaman terhadap masa depannya. Pertumbuhan pariwisata telah memunculkan tantangan besar, terutama karena belum ada sistem pengelolaan sampah dan limbah yang memadai.
Pada akhir 2024, terjadi peristiwa pemutihan karang yang parah, yang menurut dugaan para peneliti dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti pemanasan laut dan buruknya pengelolaan limbah. Peristiwa ini telah berdampak signifikan pada terumbu karang di wilayah Raja Ampat bagian tengah.
Baca juga: Temuan KLH, Empat Perusahaan Tambang Merusak Lingkungan Lima Pulau di Raja Ampat
Kini muncul ancaman baru, seiring ekspansi industri pertambangan nikel di wilayah ini yang membawa risiko besar terhadap lingkungan, mata pencaharian masyarakat setempat, dan masa depan Raja Ampat sebagai destinasi wisata.
Aktivitas pertambangan nikel berisiko menyebabkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan pada terumbu karang dan habitat daratan melalui deforestasi, sedimentasi, dan polusi. Terlepas dari gugatan pemerintah terhadap izin operasinya, perusahaan pertambangan nikel PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) baru-baru ini telah mendirikan kamp operasi di Batang Pele. Lokasi ini berdekatan dengan penginapan untuk wisatawan (homestay), destinasi wisata yang menarik, dan situs penyelaman penting di Raja Ampat.
Dampak pertambangan sudah terlihat di beberapa lokasi. Hutan telah dirusak dan limpasan air hujan kini membawa sedimen dari daerah yang telah dibuka. Hal ini menyebabkan peningkatan kekeruhan di laut yang menutupi terumbu karang, terlihat dari perubahan warna air di dekat dermaga dan area pertambangan. [WLC02]
Sumber: Greenpeace Indonesia
Discussion about this post