Wanaloka.com – Genarasi muda punya potensi besar melakukan mitigasi perubahan iklim. Rentang tahun 2001 hingga 2006 terjadi penyimpangan ekstrem nilai rata-rata suhu tahunan hingga 27 derajat celcius. Mitigasi perubahan iklim ini memerlukan peran semua pihak, terutama generasi muda. Berdasarkan hasil survei kepada 4.020 responden generasi muda, sebanyak 82 persen mengetahui soal isu lingkungan, dan 62 persen menyatakan manusia bertanggung jawab atas persoalan lingkungan.
Memperbaiki kondisi iklim yang terus memburuk saat ini, sangat bergantung pada perilaku masyarakat dan pembuat kebijakan. Genarasi muda dan jurnalis juga berperan strategis memitigasi perubahan iklim.
Pakar Klimatologi dari UGM Emilya Nurjani menjelaskan, perubahan iklim acap kali hanya dikaitkan dengan kondisi di atmosfer yang memburuk sehingga menyebabkan cuaca ekstrem.
Baca Juga: BMKG Ungkap Ada Penambahan 292 Zona Musim di Indonesia
Padahal kata Emilya, apa yang terjadi dengan perubahan iklim sangat dipengaruhi dengan kondisi di daratan yang melibatkan manusia dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
Musnahnya lahan hutan menjadi perkebunan atau proyek infrastruktur yang masif belakangan ini seiring gencarnya proyeknya infrastruktur dan perkebunan monokultur pemerintah yang telah berakibat serius pada perubahan iklim. Belum lagi kebijakan lain di sektor transportasi yang juga berdampak buruk pada perubahan iklim.
Emilya mengatakan, penyebab perubahan iklim memang tak semata disebabkan manusia. Ada faktor alami yang berperan seperti gunung meletus atau aktivitas matahari. Namun di luar itu, ulah manusia menjadi faktor penyebab paling signifikan.
Baca Juga: Gempa Mentawai Dirasakan Kuat, Warga Sempat Mengungsi ke Perbukitan
“Sekarang C02 (karbon dioksida) terlalu banyak yang terlepas ke atmosfer akibat ulah manusia. Gas karbon yang lepas ratusan tahun lalu itu masih bisa tersimpan,” kata Emilya.
Hal ini disampaikannya dalam diskusi bertema “Kolaborasi Jurnalis dan Kalangan Muda Merespons Perubahan Iklim” yang diselenggarakan oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) bekerja sama dengan Yayasan Indonesia Cerah (YIC) di Yogyakarta pada Sabtu, 10 September 2022.
Emilya melanjutkan, aktivitas manusia memicu perubahan iklim secara ekstrem. Pakar Klimatologi UGM ini, memperlihatkan grafis suhu rata-rata tahunan selama 30 tahun pada periode 1981-2010. Variasi naik turun suhu setiap tahun selalu terjadi.
Baca Juga: IPCC: Krisis Iklim Memakan Korban Jiwa, Perbankan Harus Hentikan Pendanaan Batu Bara
Namun, sebut Emilya, terjadi penyimpangan yang ekstrem dari nilai rata-rata suhu tahunan. Misalnya, pada rentang tahun 2001 hingga 2006, kenaikan ekstrem suhu mencapai hingga 27 derajat celsius. Padahal rata-rata suhu normal pada 1981 sampai 2010 adalah 24,6 derajat celsius.
Dampaknya, menurut Emilya, bisa dirasakan saat ini. Seperti cuaca yang tak menentu, tren bencana, krisis pangan dan lainnya.
“Misalnya sekarang di Jogja, musim hujan datang lebih awal pada September,” ungkapnya.
Selain perlunya masyarakat mengkritisi kebijakan yang memicu perubahan iklim, tiap individu menurut Emilya, bisa melakukan banyak hal untuk turut memitigasi perubahan iklim.
Discussion about this post