Wanaloka.com – Presiden Prabowo Subianto melantik Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Brian Yuliarto menjadi Kepala Badan Industri Mineral pada 25 Agustus 2025. Tak hanya rangkap jabatan sehingga terkesan serakah, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) juga menilai pembentukan Badan Industri Mineral menandai kemunduran komitmen rezim Prabowo-Gibran terhadap keselamatan rakyat dan ekologi.
“Lembaga ini akan memuluskan rencana pemerintah menjarah Indonesia melalui berbagai proyek hilirisasi sumber daya mineral seperti nikel, bauksit, tembaga, hingga logam tanah jarang,” kata Divisi Kampanye Jatam, Alfarhat Kasman.
Mengutip Antara, Direktur Sumber Daya Energi, Mineral dan Pertambangan di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Nizhar Marizi mengatakan Badan Industri Mineral bertugas mengelola material strategis yang dibutuhkan untuk industri pertahanan. Mineral yang menjadi lingkup kerja badan tersebut antara lain mineral logam tanah jarang dan mineral radioaktif.
Baca juga: Sama-sama Menyengat, Lebah adalah Herbivor dan Tawon adalah Predator
Sementara April 2025 lalu, ia mengatakan pemerintah memiliki fokus pada hilirisasi empat komoditas mineral strategis, yakni nikel, tembaga, bauksit. Dan satu lagi yang masih dalam pembahasan.
Dalam kacamata Jatam, badan ini hanyalah instrumen negara untuk mempercepat hilirisasi sumber daya mineral strategis seperti nikel, bauksit, tembaga, hingga logam tanah jarang. Namun, di balik narasi industrialisasi dan pertahanan, tersembunyi logika ekstraktivisme yang mengutamakan eksploitasi sumber daya alam, tanpa mempertimbangkan daya rusak ekologis dan sosial yang ditimbulkan.
“Hilirisasi bukanlah solusi jika hanya menjadi kedok untuk memperluas perampasan ruang hidup rakyat dan memperdalam ketimpangan struktural,” tegas Alfarhat.
Baca juga: Peluncuran Naskah Akademik RUU Keadilan Iklim, Politisi Janjikan Masuk Prolegnas 2026
Logika ekstraktivisme yang diusung rezim dinilai bersifat akumulatif dan destruktif. Logika tersebut tidak hanya menguras cadangan mineral, tetapi juga mengakumulasi kerusakan ekologis, konflik agraria, dan ketimpangan ekonomi.
Jika negara menjadi fasilitator utama bagi korporasi tambang, maka keselamatan rakyat dan semesta ruang hidup rakyat menjadi korban. Dalam konteks ini, Jatam menilai Badan Industri Mineral bukanlah lembaga pembangunan, melainkan mesin perampasan yang bekerja atas nama nasionalisme semu.
Dalam praktiknya, hilirisasi yang digadang-gadang sebagai jalan menuju kemandirian industri justru memperkuat ketergantungan pada pasar global dan teknologi asing. Proyek-proyek smelter dan pemurnian mineral sering kali melibatkan investasi asing yang besar.
Baca juga: Ginseng Jawa Lebih Aman Dikonsumsi Ketimbang Ginseng Korea
Sementara masyarakat lokal hanya menerima dampak negatif berupa pencemaran, penggusuran, dan hilangnya mata pencaharian. Alih-alih memperkuat kedaulatan, hilirisasi justru melegitimasi kolonialisme ekonomi dalam bentuk baru.
Pendekatan ekstraktivisme ini mengabaikan prinsip keadilan ekologis. Wilayah-wilayah kaya mineral seperti Sulawesi, Kalimantan, dan Bangka Belitung terus menjadi sasaran eksploitasi tanpa mekanisme perlindungan yang memadai. Negara tidak hadir sebagai pelindung rakyat, melainkan sebagai fasilitator bagi korporasi tambang.
“Dalam banyak kasus, izin tambang diberikan tanpa konsultasi publik yang berarti. Dampak lingkungan tidak pernah menjadi pertimbangan utama,” kata Divisi Hukum Jatam, Muh. Jamil.
Baca juga: ICJS 2025, Masyarakat Rentan Menuntut Keadilan Iklim
Memfasilitasi oligarki tambang
Discussion about this post